Engkaulah Malaikat yang Menghapus Air Mataku |
Matahari sudah di ufuk Barat, hanya menyisakan berkas-berkas jingga di balik gemerlap lampu kota. Semakin lama, mentari semakin cepat tergelincir ke bawah, membiarkan relung violet menggantikan birunya langit luas. Di atap sekolah, aku bertopang dagu menyaksikan perputaran dunia, perputaran kehidupan di langit dan bumi.
Angin berhembus pelan, namun aku sama sekali tak terusik. Mataku masih memandang tingginya gedung-gedung pencakar langit di ibukota. Sambil menghelas nafas, aku membuka tasku yang tersampir di bahuku. Aku mengeluarkan buku sketsa, lalu beberapa batang pensil warna tua dalam sebuah kotak usang yang sudah dimakan waktu. Aku duduk di lantai semen, dan meletakkan pensil warnaku begitu saja. Kemudian, aku menopang buku sketsa itu di lututku.
Aku memulai dengan warna abu-abu gelap, lalu tanganku mulai menari-nari di atas buku sketsa. Lekuk-lekuk bangunan tinggi yang gemerlapan karena cahaya lampu, benderang bulan di sisi lain matahari, burung-burung gereja beterbangan, sampai bebukitan di ujung langit, nyaris tertelan oleh kegelapan. Tak terasa, sudah nyaris tak ada penerangan lain di atas sini kecuali sebuah lampu gantung di belakangku.
"Ckrek," bunyi itu mengusik konsentrasiku, sehingga aku berbalik ke belakang, tempat pintu atap berada, "Kriiieeet," bunyi lain menyusul seiring terbukanya pintu itu. Aku mengerutkan dahi. Tak biasanya ada orang berkeliaran semalam ini di sekolah. Kecuali aku, tentu saja.
Seorang gadis masuk ke melalui pintu, sepertinya tak sadar aku ada di sana. Aku menyipit, berusaha melihat rupa gadis itu karena keadaan yang sudah lumayan gelap. Tampang gadis itu tampak begitu kacau, depresi. Frustasi. Putus asa. Rambutnya acak-acakan, matanya bengkak memerah, wajahnya basah oleh air mata. Ketika melihat matanya, sejenak aku melupakan gambar yang sedang kubuat. Dengan sekali menatap matanya yang molotot saat bertemu pandang denganku, aku seolah tahu apa yang dipikirkannya, bagaimana masa lalunya, dan akan jadi apa dia nanti.
"JLEDAAAARR"
Aku tersentak karena di malam yang begitu cerah, tiba-tiba sebuah petir menyambar. Terperangah, aku seolah masuk ke dalam dirinya, masuk ke dalam kepedihannya. Derita hidupnya. Aku bergetar menyaksikan hidupnya yang mengerikan.
***
"Aku ingin menjadi orang terkaya, terhormat di seluruh dunia!" Teriak Ayah dengan ambisi mengerikan. Mata Ayah melotot garang, membuatku tercekam rasa ngeri. Di ujung ruangan, aku meringkuk gemetar. Di tengah ruangan, sesosok makhluk berkerudung berdiri tegap dan tinggi menjulang di atas mantra yang dibuat Ayahku.
Makhluk itu tersenyum memamerkan giginya yang tajam, seolah semuanya adalah gigi taring. Aku tak bisa melihat matanya, dan aku tak pernah berharap akan melihatnya. Sudah cukup horor melihat sosoknya yang mengerikan. Jika melihat matanya, mungkin harapan hidupku akan lenyap selamanya. Aku menatap Ayah dan makhluk itu bergantian.
"Mudah saja," ucap suara melengking makhluk itu, dingin dan tak ada belas kasihan, "Tapi berikan aku tumbal sebagai gantinya!"
Mata Ayahku membulat, begitu juga denganku. Rasanya aku sudah tahu apa yang akan dikatakan Ayahku selanjutnya. Aku semakin mengkeret di ujung, menunggu saat mengerikan itu datang sambil menangis tanpa suara.
"Ambil dia!" Ayahku menudingku dengan mata merah, seperti orang kecanduan narkoba, "Ambillah dia! Dia akan kujadikan persembahanku untukmu! Ambillah dia, yang telah menjadi kesialan bagiku!"
Makhluk itu menoleh pelan padaku, liurnya menetes-netes melihatku. Tanpa kusadari, teriakanku telah membelah langit hening malam itu. Makhluk itu terbang ke arahku. Aku tak peduli lagi apa yang terjadi, karena kesadaranku perlahan menghilang.
Samar, aku mampu melihat sesosok cahaya putih terang keluar dari dalam tubuhku. Sepeti seoasang sayap lebar yang terbentang. Sayup-sayup, sebuah suara membahana di dalam pikiranku, suara penuh wibawa yang sangat berbeda dengan suara melengking makhluk itu.
"Aku telah menyelamatkanmu. Namun aku akan membuatmu merasakan penderitaan lebih dari siapapun di dunia ini. Aku akan menjerumuskanmu dalam segala rentetan masalah di bumi ini, agar segala penyesalan yang kau rasakan cukup untuk menebus dosamu dan dosa Ayahmu! Ingatlah ini selalu : Jika kau bertahan, kau akan diselamatkan! Percayalah, dan penderitaanmu akan dihapuskan. Namun ketika kau menyerah, segalanya akan berakhir."
Entah berapa lama aku terombang-ambing antara hidup dan mati, sebelum akhirnya aku tersadar di dalam ruangan putih beraroma antiseptik. Rumah sakit. Di cermin, aku melihat pantulan wajahku. Mengerikan. Wajah kiriku terkena luka bakar parah dengan bercak-bercak kemerahan. Sebelah mataku buta. Hidungku patah dengan arah yang salah. Rambutku setengah gundul ditutupi perban. Di tambah lagi, lengan kiriku hanya sebatas siku. Sebelah kakiku hilang. Ini parah. Nyaris lebih parah dari monster.
Aku berteriak tanpa suara. Hatiku terkoyak-koyak. Wajahku hancur. Aku mencoba berteriak lebih histeris lagi, namun aku hanya terlihat seperti orang gila yang kejang-kejang tanpa suara. Tenggorokanku kering, dan aku tak bisa menggetarkan pita suaraku. Ini hebat. Sekarang aku bisu. Hancurlah sudah hidupku.
"Ah," ucap seorang dokter yang baru masuk ke dalam, "Kau sudah sadar. Nah, dengarkan aku. Kami tidak tahu siapa keluargamu. Lalu, keadaanmu sepertinya cukup parah, jadi harus dirawat lebih lanjut. Bisa kau beri tahu aku siapa orang tuamu? Kau bisa menulis kalau kau mau."
Aku menggeleng, menyadari bahwa aku lupa siapa nama ayahku. Di mana alamatku, atau siapa seharusnya aku. Semua ingatanku samar, seolah hanya bagian dari sebuah mimpi panjang.
"Ehm, begini," dokter itu berdeham pelan, "Kami hanya rumah sakit kecil, jadi tak banyak kamar tersisa. Sementara itu, jika kau tak bisa membayar..." Dia sengaja menggantungkan kalimatnya.
Aku diusir secara halus, pikirku. Bagaimana tidak? Bayangkan saja, bagaimana kau bisa beramah-tamah dengan gadis buruk rupa yang tinggal tanpa bayar?
Beginilah aku. Aku keluar dari rumah sakit itu dengan putus asa, tak tahu arah tujuan hidupku. Inikah bayaran yang harus kutanggung? Keluar dari rumah sakit dengan sosok sempurna menyeramkan yang pastinya akan membuat bayi meraung-raung, dengan hanya membawa selembar pakaian usang, dan sebuah tongkat sebagai rasa kasihan dari sang Dokter yang berusaha menambah karma baik. Nasib yang tidka buruk bukan?
Hari-hari berikutnya kuisi dengan sama buruknya. Dianiaya oleh anak jalanan, dipukuli, dirajam, ditendang orang kaya iseng, dikatai menjijikkan oleh anak orang kaya sombong, dilupakan dan disakiti. Jika hidup seperti ini adanya, lebih baik aku tak pernah dilahirkan.
Di sudut jalan tempat kumpulan sampah, di sanalah aku meringkuk sendirian, kedinginan, dengan tongkat yang sudah hampir patah. Aku mendongak menatap cahaya mentari di atas sana.
"Tess, tes," air mataku menetes begitu saja. Bening kristal yang langsung tersaput debu sebelum sampai ke tanah. Putus asa. Meski sudah kucari, selama empat bulan ini hampi tak ada keberuntungan bagiku. Aku ingin berteriak meraung-raung, memberitahu pada dunia, seberapa besar usahaku untuk bertahan. Mungkin, mengakhiri segalanya malah akan lebih baik.
"Kyaaa!" Seorang remaja berteriak dan melompat ketika melihatku. Sepertinya ia ingin membuang kantong sampah ke tempat penampungan sampah ini. Namun, ia melemparnya begitu saja ke arahku, lalu berlari terbirit-birit sambil berteriak.
Aku tidak mau hidup lagi.
***
Tak terasa, air mataku sudah menetes banyak sekali. Rupanya aku ada di atas tempat tidurku sendiri. Nafasku terengah-engah, merinding, sambil tersedu-sedu. Masa lalu gadis itu...mengerikan. Bagaimana perasaannya selama hidup, memiliki Ayah setega itu, memiliki masa lalu dan masa depan sekelam itu, tertampak jelas dalam mimpiku. Lega rasanya mengetahui itu hanya bagian dari bunga tidur.
Kata orang, bunga tidur hanyalah proyeksi dari rasa takut dan keresahan seseorang, tak ada hubungannya dengan kehidupan orang yang lain atau masa depan.
Tapi aku penasaran. Saat ini masih tengah malam, kira-kira jam satu. Aku duduk sejenak, lalu membereskan barang-barang yang perlu kubawa: senter, misalnya. Dengan langkah pelan, nyaris seperti maling, aku keluar lewat jendela kamar. Di samping rumah, aku mengendarai sepedaku dengan tergesa-gesa, menuju tempat pembuangan sampah. aku penasaran akan apa yang ada di sana.
Kosong. Hanya ada sampah. Aku menyalakan senterku. Jujur saja, menuju tempat sepi dalam keremangan malam benar-benar mengerikan. Sepertinya aku tidak akan mau kemari lagi untuk waktu yang lama. Setelah mengarahkan senterku ke berbagai arah, aku merasa kecewa, karena aku tak menemukan apa yang kucari. Gadis dengan tubuh bagian kiri yang rusak parah.
Aku mengangkat bahu dan berbalik, bersiap kembali ke rumah. Tiba-tiba, dari deretan sampah, terdengar lenguhan pelan. Dengan cepat aku membongkar tumpukan sampah itu. Benar saja, aku menemukan seseorang di sana. Sulit memang, dan menjijikkan juga, namun aku membawanya ke rumah sakit terdekat. Dia dirawat di sana dengan bantuan dana orangtuaku dan sumbangan sosial.
Gadis bisu itu menatapku dengan tatapan memuja, meneteskan air mata yang saat itu tampak begitu suci dan bening. Ia tersenyum lembut, dan bicara dengan terbata-bata, "Terima kasih, atas segalanya. Kamu adalah penyelamat hidupku."
~~~~~~The End~~~~~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar