Everytime I see your face, I fall in love with you, over, over, and over again~~
"Aku ingin pergi, jauh, menggapai bulan, mengikuti bintang. Aku akan pergi selamanya, berlari dari segalanya, menembus mimpi, dan aku takkan pernah kembali. Aku takkan dikekang oleh waktu, aku akan bebas selamanya, melayang tinggi di lautan biru di atas sana."
Dia menunjuk jauh ke atas, matanya bercahaya penuh harapan menatapku. Bibir kecilnya tersenyum lebar membentuk garis tipis. Di lapangan penuh dandelion putih, seorang gadis dengan rambut hitam panjang dan gaun merah, berdiri di tengah angin sepoi-sepoi dan udara sejuk. Tatapannya jauh merantau angkasa, seolah ia memiliki sayap putih besar, dan kapan saja dapat terbang pergi dari sisiku.
Aku menatapnya sedih. Dia tampak begitu suci, begitu murni, di bawah cahaya redup pagi hari.
"Kau ingin pergi?" Aku berbisik pelan dengan suara gemetar menahan tangis di sampingnya. Ada tersirat nada kecewa dalam suaraku. Gadis itu menatapku di balik kelopak matanya yang sendu. Mungkin aku terkesan manja dan egois, tapi aku benar-benar tidak ingin dia pergi. Selamanya aku ingin dia berada di sisiku, menemaniku bermain tiap pulang sekolah.
"Hei," suaranya menghasilkan gema mendalam dalam relung hatiku, "Kamu kan cowok, jangan menangis, dong!" Dia mengacak rambutku pelan.
Beberapa kupu-kupu putih berterbangan mengiringi senyumnya, seolah mendapat sinyal kepergiannya yang semakin dekat. Awan kelabu mulai menutupi cahaya matahari, tapi cahaya yang menyinari gadis itu semakin menyilaukan.
Seolah ditelan cahaya, gadis itu menghilang. Bidadariku pergi meninggalkanku sendiri untuk selamanya.
***
"Ouch!"
Aku mengumpat pelan ketika telingaku ditarik dan diputar tanpa perasaan. Tanpa perlu menoleh, aku tahu bahwa yang menjewer telingaku adalah seorang wanita paruh baya bergaya rambut bob dengan kaca mata runcing berantai menghiasi wajahnya. Bu Georgia, wali kelasku sekaligus guru mapel IPA yang sangat-sangat kusayangi.
"Kamu sudah pintar, ya? Berani-beraninya kamu tidur dalam pelajaran saya! Coba kamu jelaskan apa yang saya jelaskan tadi, atau kamu boleh keluar dari kelas saya!"
Aku memutar bola mata, sementara seisi kelas menatapku dengan maklum. Guru ini memang entah mengapa sangat membenciku, bahkan dari saat pertamanya mengajar di kelas ini. Dia seolah-olah memiliki feeling bahwa aku akan menghancurkan peradaban ekosistem alam dan memusnahkan umat manusia di masa depan nanti. Ya, mungkin saja akan kulakukan seandainya guru itu terus-menerus menerorku.
Aku memilih untuk keluar kelas. Di tengah tatapan takut bercampur kagum dari mereka, aku membereskan tas asal-asalan dan berdiri keluar dari kelas. Bu Georgia sudah membuka mulutnya untuk kembali mengutarakan kejengkelannya padaku, namun aku terlanjur membanting pintu kelas. Aku memang ingin sekali melihat wajahnya merah menahan amarah, namun pemikiran "kantin" sebagai tujuan berikutnya membuatku mengurungkan niatku untuk berlama-lama dalam kelas.
Di bawah terik matahari, kantin SMA Satu Langkah Lebih Maju atau disingkat SaLah LiMa--itu sekolahku sejak tiga semester yang lalu--begitu sepi, karena sejujurnya saat ini memang bukan saat yang tepat untuk berjajan-ria. Saat ini baru saja memasuki jam kedua, yang berarti masih dua jam lagi untuk melepaskan kepenatan belajar, alias waktu istirahat.
Tanpa menghiraukan tatapan aneh ibu kantin, aku menyebutkan rentetan makanan yang ingin kulahap.
"Nasi bungkus satu, tahu goreng dua, risol dua, teh botol satu." Ucapku malas pada ibu kantin. Saat kesal begini, biasanya organ pencernaanku akan bekerja lebih cepat. Dengan kata lain, aku akan menjadi lebih lapar dari biasanya. Ditambah lagi, melihat kaca mata runcing Bu Georgia mengingatkanku bahwa aku belum sarapan pagi ini.
Ketika tengah menikmati makanan kantin--yang sebetulnya tidak enak sama sekali namun terpaksa kulahap untuk mengganjal perut--di tengah siang bolong, seseorang menjawil bahuku keras-keras sehingga risol yang sedang kumakan nyaris tertelan bulat-bulat (aku yakin risol tidak bulat).
Aku menoleh pada tersangka utama yang berdiri di belakangku, berusaha mendelik dan memasang tampang yang paling tidak enak dipandang sepanjang masa. Jika orang itu adalah orang yang kubenci dan dia berusaha membuat mood-ku jadi lebih buruk lagi, aku takkan segan-segan untuk menyumpalkan risol sisa gigitanku ini ke kerongkongannya.
Baru saja aku menoleh, ternyata yang tampak di depanku adalah seorang gadis berlesung pipi yang menatapku panuh arti. Maksudku, dalam artian buruk. Wajahnya bersungut-sungut kesal, tangannya terlipat di depan dada. Gadis itu menggumamkan sesuatu, sebagai pertanda kekesalannya yang memuncak. Bahkan, dia tidak lagi memedulikan wajahku yang tidak kalah sengit karena isi risol terakhirku tumpah-ruah ke atas meja kantin.
Dia adalah gadis teman sejak kecilku sekaligus teman sekelasku. Eh, jangan salah paham dulu. Aku dan dia tidak terhubung oleh perasaan-perasaan yang semacam itu, atau relasi-relasi tertentu yang bersifat rahasia, atau semacamnya. Kami murni sebagai teman sekaligus musuh debat, selalu bertengkar setiap saat karena kami berbeda 360 derajat, yang artinya kami bertemu dalam satu titik yang sama dan selalu mendebatkan hal yang bertolak belakang.
Seperti sekarang, misalnya.
"Apa yang kau lakukan, idiot?!" hei, sembarangan saja dia menyebutku idiot! "Seenaknya saja kau keluar dari kelas IPA begitu. Kamu punya malu, nggak, sih? Aku heran kenapa kamu bisa masuk kelas IPA begini. Waktu tes ujian penyaringan, kamu nyontek siapa, sih?" aku menyontekmu, tahu! Aku memutar bola mata. Meskipun dalam hati aku ingin membalas perkataannya, sangat disayangkan karena aku hanya bisa mengoceh dalam hati, lantaran sibuk mengunyah risol yang hanya tinggal kulit saja.
"Kamu pernah mikir nggak sih, orang tuamu sudah susah-susah membiayaimu untuk..."
Aku cepat-cepat menelan makanan, lalu berdiri dan memotong perkataannya. "Heh, kok loe yang rese? Ortu ya ortu gue, kelas ya kelas gue walaupun itu kelas loe juga, kaki ya kaki gue, mau angkat kaki dari kelas itu atau nggak, ya itu terserah gue dong! Ngomong-ngomong, loe juga bukan siapa-siapa gue. By the way, loe sendiri juga keluar dari kelas kan? Tahu malu nggak, keluar kelas seenaknya!"
Aku berjalan menuju kotak sampah terdekat dan membuang bungkus-bungkus makanan sekenanya (maksudnya, asal kena kotak sampah saja, tidak peduli masuk atau tidaknya). Lalu berdiri di depan wajahnya, menjulang tinggi karena memang gadis itu termasuk pendek untuk seusianya.
"Maaf mengecewakan, tapi aku keluar karena disuruh Bu Georgia. Aku satu-satunya murid yang lulus ulangan minggu lalu, jadi aku dipersilakan keluar kelas lebih cepat. Aku bukan kamu, yang keluar karena satu-satunya murid yang tidur di kelas." Dia menengadahkan kepala, berusaha merendahkanku, walaupun gagal total karena aku masih lebih tinggi darinya.
Aku tahu dia bohong. Tapi apa salahnya jika aku mengikuti permainannya sejenak?
"Heh, Miss Christanti Lusia, loe rupanya nggak lihat John yang tidur pulas di belakangku tadi? Memang, dia menutupinya dengan buku, tapi tak kusangka Miss Nerd kelas ini tidak menyadari hal sejelas itu. Aku yakin saat ini John sedang menikmati angin musim gugur di Jepang dalam mimpinya. Aku keluar bukan karena aku tidur, tapi karena Bu Georgia yang memang sangat menyukaiku, sampai-sampai aku diberi kehormatan untuk keluar lebih awal," ucapku sarkastis.
Wajahnya semakin memerah, menahan amarahnya yang semakin memuncak. Aku beruntung karena tidak ada panah dan busur di dekat-dekat sini, karena Chris memang ahli dalam hal memanah. Memang, meskipun memiliki rambut lurus panjang melebihi lutut, tidak ada yang dapat menghalanginya menjadi gadis tomboi, ahli bela diri, dan bermulut pedas. Tidak heran jika ada pepatah mengatakan agar jangan melihat buku dari covernya.
Setelah menatapnya dengan pandangan yang kubuat sedatar yang kubisa, aku berbalik dan melangkah pergi. Chris sempat meneriakiku beberapa kali, namun aku tetap melangkah. Tidak sedikit pun aku menoleh padanya. Hingga aku menyeruput tetes terakhir teh botol yang baru saja kubeli di kantin, aku sama sekali tak menoleh.
By the way, Chris bukan siapa-siapa bagiku.
***
Aku membanting pintu kayu berpelitur yang menjadi pembatas dunia luar dengan rumahku. Kalau boleh jujur, rumah ini mengerikan. Di balik rupanya yang biasa dan damai, rumah ini telah melahap segala suasana kegembiraan keluarga ini. Perlahan-lahan, rumah ini seolah merenggut keceriaan, menyisakan rasa sepi yang mengambang-ambang. Kami memang bukan keluarga kaya, namun aku berani mengakui bahwa dulu kami termasuk dalam salah satu keluarga paling harmonis di kota ini. Dulu, setiap menjejaki kaki di teras rumah ini, akan tercium aroma manisnya saus mentega atau hangatnya air mandi. Akan tampak lampu-lampu lorong yang berderet menyambut tiap langkah kecil anggota rumah ini. Selalu terdengar dendang tawa riang dari tiap jengkal dinding.
Namun, kehangatan itu tak lagi bersisa. Lima tahun yang lalu, ketika aku masih berusia 11 tahun, Ayah dan dua adik kembarku tewas dalam kecelakaan lalu lintas. Seorang pengendara truk mabuk dan menggilas habis ketiga anggota keluarga ini berserta motornya. Sementara itu, Ibu melarikan diri dari kenyataan, sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berfoya-foya dan bepergian keliling negeri.
Dan tinggallah aku di sini, bersama kegelapan yang setia menyambutku setiap kepulanganku kemari. Aku melempar sepatuku sembarangan, menyisakan lumpur di sana-sini. Memang, hujan sempat turun sepanjang perjalananku dari sekolah ke rumah ini, mengakibatkan genangan air di tanah basah. Tak menghiraukan seragamku yang kotor dan rambutku yang basah, aku berjalan santai ke arah lemari pendingin dan mengambil kaleng soda persediaanku dari dua bulan yang lalu.
Aku menjejak di ruang tamu dan duduk di sofa tanpa terlebih dahulu menyalakan lampu. Aku sudah biasa dengan kegelapan. Jika kalian ingin mengatakan bahwa aku mirip sejenis makhluk kegelapan, itu hak kalian. Dengan jempol kaki seadanya, aku menekan tombol power televisi tepat di depanku.
Ya, beginilah kehidupanku tiap hari. Dan jika hari ini sama seperti hari-hari sebelumnya, maka yang akan terjadi berikutnya adalah...
Klik!
Ruangan itu menyala terang-benderang karena ada yang menyalakan lampu 15 watt di tengah ruangan. Aku tidak perlu repot-repot melihat sosok yang seenaknya masuk ke rumahku tanpa permisi itu, karena memang itulah yang ia lakukan setiap hari. Siapa lagi kalau bukan Chris?
Gadis itu berdiri dengan muka masam, tidak berkurang sedikit pun dari tadi pagi. Aku mengerang, namun tak melepas pandanganku dari film action di depanku ini. Bagaimana tidak bosan seandainya setiap hari ada seorang penyusup tak berperikemanusiaan yang seenaknya berlagak seperti ibuku sendiri?
Mungkin kalian menyalahkanku soal mengunci pintu depan atau menggembok pagar. Tapi jujur saja, aku sudah mengunci seluruh pintu di rumah ini dengan serapat mungkin. Jendela juga sudah kututup rapat dan dikunci dengan segenap usahaku. Sayangnya, hal itu tidak berpengaruh untuk gadis di depanku ini. Dia bisa melebur dalam udara, memadatkan sebagian tubuhnya, membuat dirinya tak terlihat, berterbangan melalui cerobong asap, menembus bumi, dan segala macam hal yang tidak pernah kita ketahui sebagai manusia.
Tepat sekali, Chris bukan manusia. Dia hantu.
***
Kalau boleh jujur, aku tidak pernah meminta untuk dapat melihat hal-hal semacam itu disamping kemampuan manusia biasa lainnya. Sialnya, aku mendapat indera untuk merasakan dan melihat roh, khususnya Chris. Dan hanya Chris. Sejujurnya, aku tidak pernah melihat roh sebelum usiaku 13 tahun, dan aku juga tak pernah melihat roh selain Chris.
Intinya, roh yang bisa kulihat hanyalah Chris, entah apa sebabnya.
"Mau apa lagi, Nyonya Besar? Ingin sekali mengganggu privasi orang lain? Pernah terpikir di otakmu yang tembus pandang itu, bahwa terkadang seseorang tidak begitu mengharapkan kedatanganmu di sini? Well, melihat tampangmu yang nyaris menyerupai nenek lampir, tidak heran jika kamu tidak disambut baik oleh manusia seperti kami," ucapku sarkastis.
"Maaf ya, Tuan Manusia yang Rendah Hati dan Tidak Sombong. Aku bukannya ingin menghantuimu karena aku tidak memiliki teman lain. Jujur saja, aku juga tidak ingin terus berada di sini, seandainya aku tidak terikat oleh janji bodohku dengan ayahmu yang meninggal 5 tahun lalu itu. Dan sekali lihat saja semua orang pasti tahu betapa kacaunya kehidupanmu, Mister. Lihat saja, menyalakan lampu sendiri saja kau sudah tidak becus," balasnya tak kalah sengit.
Aku menatap sekilas tubuh kurusnya yang samar-samar dengan pandangan merendahkan, lalu kembali menatap televisi di depanku.
Ya, dia adalah gadis kecil dalam sekilas masa laluku. Gadis yang dulu selalu kuikuti ke mana pun dia pergi, menganggapnya seperti bidadari berbalut gaun merah di tengah dandelion putih. Dia adalah gadis yang menghiburku ketika tiga dari anggota keluargaku pergi untuk selama-lamanya. Dia adalah pemilik tangan kecil yang setia merengkuhku ketika aku sedang dalam jurang keputusasaan, ketika ibu pergi, ketika teman-teman menjauhiku, ketika guru-guru menyindirku, ketika dunia seolah memusuhiku.
Tapi itu hanya cerita lama, hanya sekelumit masa lalu yang sudah lama berlalu.
~~to be continued... ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar