“May, kok aku merasa dihantui ya?” tanyaku serius, mengungkapkan isi benakku sejak kemarin malam.
Maya melirikku sambil tersenyum, “Mungkin hanya perasaanmu saja.”
“Aku serius. Sejak tadi malam, lho, May,” ujarku padanya, berharap ada reaksi lain dari temanku. Namun dia hanya tersenyum kalem, tanpa bicara apa-apa.
“Semalam di rumahku,” lanjutku mendramatisir, “Kran yang rusak tiba-tiba mengeluarkan air, dan airnya berwarna merah kecokelatan! Dan bukan itu saja, May. Aku melihat pena menggelinding jatuh dengan sendirinya. Lalu, pena itu tidak kutemukan sampai sekarang. Ditambah lagi, jendela kamarku terbuka, padahal aku tidak ingat pernah membukanya.”
Aku bergidik ketika membayangkan kembali peristiwa beruntun itu. Sementara itu, Maya terus berjalan sambil menghindari genangan-genangan air. Sesekali, hembusan angin meniup rambutnya. Setelah beberapa saat, barulah ia angkat bicara.
“Setiap malam aku merasakannya,” ucapnya datar dan misterius sehingga menarik perhatianku, “Setelah aku mematikan lampu kamar, aku merasa kamarku menjadi lebih gelap.” Aku meliriknya sebal. Kamar siapa pun pasti menjadi gelap jika lampunya dimatikan. Aku tahu jelas, bagaimanapun, Maya bukan tipe orang yang bisa bicara serius.
Namun sepanjang perjalanan, aku tidak bisa tenang. Maya tak membuatku merasakan ketenangan yang kuharapkan. Tiupan angin semakin kuat menerpa tubuhku. Bunyi daun yang saling bergesekan memenuhi kedua telingaku. Aku merasa ada yang memperhatikanku dari jarak cukup jauh. Berkali-kali, aku dibuat penasaran oleh sesuatu yang ada tepat di belakangku.
Sesampainya di sekolah, aku semakin ingin menoleh ke belakang. Aku dapat merasakan tatapan yang menusuk, membuatku merinding. Rasanya aku ingin bersembunyi. Tapi, Maya terlihat biasa saja, seolah tak ada apa-apa. Namun aku tahu, ada sesuatu yang berbeda hari ini.
Seharian di sekolah, rasanya aku diliputi kesialan di tiap detiknya. Berkali-kali aku merasa angin dingin berhembus atau sebuah tangan mencengkram pundakku. Namun, setelah aku berbalik, tak ada siapa-siapa di sana.
Aku salah menjawab soal dari guru berkali-kali. Bahkan aku sempat ditawarkan seorang guru untuk beristirahat di Ruang Kesehatan sekolah. Tetapi aku menolak mentah-mentah tawaran itu. Semua ini akan semakin buruk ketika aku harus tidur sendirian di dalam bilik yang gelap dan berbau obat. Aku tidak bisa membayangkan akan setakut apa aku di dalam sana. Mungkin saja aku tidak akan bangun untuk kedua kalinya.
Aku semakin was-was ketika pelajaran olahraga. Saat itu hujan turun dan kilat seolah merobek langit yang sudah abu-abu. Kami akan belajar cara men-dribble bola basket. Karena cuaca tidak mendukung, maka kami berniat melakukannya di teras kelas olahraga.
Aku adalah seksi olahraga, maka aku yang diminta untuk mengambil bola di gudang. Pada hari biasa, aku tidak pernah khawatir seperti ini ketika mengambil bola. Jarak gudang dengan kelas memang tidak jauh, namun cukup menakutkan untuk dilewati sendirian di bawah kilatan halilintar. Aku melewati lorong-lorong gelap yang menghubungkan kelas olahraga dengan gudang sekolah. Angin dingin menyerbu tubuhku, mendesakku untuk kembali atau menciut di tempat.
Bisikan-bisikan halus dari gemeresik daun menambah ketakutanku. Suasana sepi membuatku seolah berjalan melalui distorsi waktu ke masa lain. Dalam bayanganku, lorong ini menjadi sangat panjang, seolah tak ada akhirnya. Aku tertegun sejenak. Benar juga, mengapa lorong ini terasa sangat sepi?
Aku ingin berhenti dan menoleh ke belakang, sekadar memastikan bahwa aku masih dalam dunia nyata. Namun aku takut. Takut jika seandainya aku memang berada dalam sebuah dunia lain yang berbeda. Jika benar, apa yang akan aku lakukan selanjutnya?
Akhirnya aku berhenti, dan berusaha menoleh ke belakang. Jantungku berdentum-dentum, namun di sana sepi dan hening, hanya ada suara hujan. Kemudian, suara halilintar menggelegar, terasa sangat dekat dengan telingaku. Berbagai suara teriakan meredamnya. Dan ketika aku menoleh ke bawah kakiku, aku melihat sebuah tubuh tergeletak di lantai, dengan rambut yang panjang terurai.
Tak butuh banyak waktu bagiku untuk menyadari bahwa yang tergeletak itu adalah aku. Aku tersentak. Nafasku memburu, dan seketika itu juga, kesadaranku perlahan menghilang, membawaku dalam kegelapan pekat dan kedalaman sunyi.
Suara gumam dari beragam mulut di sekitarku membuatku tersadar dari mimpi burukku. Mataku mengerjap beberapa kali, membiasakan diri dengan masuknya cahaya diantara kegelapan. Kepalaku sakit, seperti telah dipukul beberapa kali. Telingaku berdenging pelan.
“Ah, dia bangun, dia bangun!” ucap seseorang diikuti suara ribut dari yang lain. Ternyata mereka teman-temanku. Aku cukup lega ketika menyadari aku belum diculik alien atau dibakar di api neraka dan dimasukkan dalam kubangan darah.
Seorang guru perempuan masuk, dan meminta yang lain keluar. Terdengar erangan protes dari teman-temanku. Satu-persatu dari mereka keluar, kecuali sang guru dan Maya. Maya terlihat sedang duduk di ujung ruangan, memperhatikanku sambil tersenyum misterius.
“Kamu pingsan di koridor. Sepertinya kamu kurang makan atau kurang tidur, ya?” tanya guru itu dengan halus. Aku mengerutkan dahi, bertanya-tanya apa yang telah terjadi. Barulah sebuah ingatan menyadarkanku. Kilasan balik memenuhi benakku.
“Aku melihat diriku di koridor. Aku tergeletak di sana,” ujarku ngeri. Aku baru tahu bahwa aku terlihat begitu menyeramkan ketika tergeletak seperti itu.
Guru itu tersenyum, “Kamu berhalusinasi, Sayang,” katanya sambil meletakkan secangkir teh manis di tanganku.
“Tapi...,” ucapku berniat membantah kata-katanya. Tapi, guru itu dengan cepat memberi isyarat agar aku meminum tehnya. Teh tersebut terasa enak dan hangat, serta memanjakan lidahku. Aku menyerahkan gelas yang sudah kosong pada guru itu. Guru itu pergi dan meninggalkanku berdua dengan Maya. Hujan telah reda digantikan matahari. Maya masih duduk menatapku melalui matanya yang tampak bercahaya ditimpa cahaya mentari.
“Aku membawakan tasmu. Ini...,” ucap Maya kalem sambil menyerahkan tas padaku. “Sudah waktunya kita pulang, Via. Bel sudah berbunyi sejak tadi. Apa kamu kuat untuk berjalan?”
“Sepertinya,” jawabku sambil tersenyum.
Berakhir sudah pengalamanku yang menyeramkan di sekolah ini. Ternyata semuanya hanya halusinasi. Maya mengajakku pulang, namun aku ingin pergi ke toilet sejenak, melepas segala rasa khawatir yang menghantuiku sejak tadi. Sementara itu, Maya pergi ke perpustakaan, mengembalikan buku yang sudah ia pinjam sebelumnya. Aku menitipkan tasku padanya.
Aku berjalan dengan riang. Aku tersenyum pada setiap pohon yang ada, dan ikut bernyanyi dengan para burung gereja yang bersenandung riang. Kepalaku memang masih belum pulih seratus persen, namun sekarang ini lebih baik dari apapun yang terjadi hari ini. Aku melirik koridor tempat aku pingsan beberapa saat yang lalu. Tidak ada apa-apa di sana. Damai dan tenteram.
Aku memilih toilet yang paling dekat dengan ruang peralatan bersih-bersih. Aku bersenandung riang. Namun, ketika aku akan membuka kunci pintunya, ternyata kuncinya macet. Aku terkurung di dalam. Apakah kesialanku masih berlanjut?
Aku menarik, mendorong, dan menghempaskan pintu itu. Aku menggoyang-goyangkan kuncinya. Namun tak ada hasilnya. Aku masih tersekap di dalam, sementara telepon genggamku masih di dalam tas. Maya juga sedang mengembalikan buku di perpustakaan.
Aku mulai cemas, dan berbagai bayangan kembali merasuki benakku. Akankah Maya pulang lebih dahulu tanpa menungguku, sementara aku baru ditemukan besok pagi? Atau mungkinkah aku akan dimakan Monster Kamar Mandi sebelum aku berhasil membuka pintunya?
Kemudian, samar-samar terdengar suara tangis bayi dari kejauhan. Semakin lama, bunyinya semakin kuat dan semakin mendekat. Apa aku berhalusinasi lagi? Aku mulai mengeluarkan keringat dingin dan nafasku mulai tidak teratur. Bayi siapa yang akan datang ke SMA? Ini benar-benar mimpi buruk.
Aku terpaku di tempatku, manatap ngeri pintu yang ada di depanku. Pintu itu memang seperti biasa dan tak ada yang mengerikan di papannya. Hanya saja, saat ini aku membayangkan apa yang kira-kira akan terjadi jika bayi itu ‘masuk’ kemari?
Aku tidak berani menggerakkan seujung jari pun. Rasanya aku ingin berteriak, namun tenggorokanku tercekat. Aku ingin menangis meraung-raung seperti bayi itu, namun air mataku tak sanggup keluar. Aku diam di tempat, pasrah akan apa pun yang akan terjadi.
Suara tangis bayi itu semakin dahsyat, dan aku tahu pasti, bayi itu ada tepat di balik pintu ini. Aku semakin takut, ingin menghilang ditelan kegelapan. Angin dingin kembali berhembus di dalam ruang tertutup ini, membuat bulu romaku berdiri. Aku ingin berlari saat ini juga!
Kemudian, seolah belum cukup membuatku ketakutan, terdengarlah bunyi klontang yang terasa menusuk. Ketika aku melihat ke bawah, aku seolah melihat kilat guntur. Ada dot bayi tergeletak di dekat sepatuku. Aku terlonjak dan segera mundur sebisa mungkin hingga merapat di dinding. Jantungku hampir terlompat keluar dari rongganya.
Cairan yang ada di dalam dot itu keluar, nyaris seperti darah, atau memang darah. Aku seperti melihat adegan horor di televisi. Aku mampu membayangkan wajah bayi yang menghisap dot itu. Mungkinkah ia berwajah rata, atau mungkin dengan wajah berdarah-darah, atau bibir yang membengkak, atau mungkinkah gigi taringnya sudah sepanjang drakula?
Aku berusaha realistis. Namun, semakin aku berusaha realistis, aku semakin yakin bahwa dot itu nyata, dan tangisnya yang kini masih menggema itu juga nyata. Kemudian, aku merasa ada sesuatu yang berusaha membuka pintu yang ada di depanku ini. Aku berdoa dalam hati, agar pintu itu tak akan terbuka. Aku mendekam selamanya di dalam sini juga tak apa-apa.
Aku memang bukan imam atau pemimpin agama yang jujur dan baik hati serta suka menabung. Namun paling tidak, aku adalah perempuan baik-baik yang belum pernah membunuh, mencuri ataupun merampok bank. Mungkin besok, akan ada namaku di dalam koran dengan judul, “Ada Gadis SMA yang Meninggal Dunia Karena Rohnya Dihisap Hantu Tak Berperikemanusiaan.”
Ah, tentu tidak. Aku harus berani melawan walau melawan itu tidak baik. Aku mengambil gayung di dalam bak untuk berjaga-jaga. Paling tidak, aku bisa melindungi diri sendiri, walaupun aku tahu hantu tidak akan merasa sakit jika kupukul.
Tiba-tiba, sebuah tangan masuk dari bawah pintu, berusaha mengambil dot yang tadi terjatuh. Jantungku terlonjak, nyaris berteriak. Tangan itu seperti tangan manusia, dengan urat pembuluh darah yang terlihat di balik kulit pucat yang tipis. Kuku-kukunya panjang dan runcing, serta berwarna hitam.
Tangan itu berhasil meraih dot tersebut, namun cairan yang berasal dari dalamnya masih ada di sana. Aku ingin memukul tangan itu, namun aku takut ‘sesuatu’ itu akan marah dan berbalik menyerangku. Kini, aku membayangkan seorang drakula tua yang berusaha membunuh bayi tak berdosa dan merebut dotnya.
Tiba-tiba, suara Maya terdengar dari balik pintu toilet, “Ada apa, Bu?” Nafasku memburu. Apa maksudnya ini?
“Ah, tidak, kok. Tadi saya ingin ke toilet, tapi anak saya menangis terus. Lalu dotnya jatuh ke dalam sana, jadi saya berusaha mengambilnya,” ucap seorang perempuan tak dikenal.
“Memangnya pintunya terkunci, Bu?” tanya Maya, lalu bertanya dengan suara diperkeras, “Kamu di dalam sana, Via?” Aku tertegun. Aku menjawab takut-takut, berusaha mengacuhkan pemikiran bahwa aku sedang dijebak sang monster.
Aku mencoba membuka kunci pintu itu lagi, dan hasilnya pintu itu terbuka. Aku terbelalak. Aku melihat Maya dan seorang ibu tak dikenal bersama bayinya yang tertidur pulas. Aku jadi merasa bodoh karena ketakutan sendiri.
“Kamu lama sekali, Vi,” ujar Maya, “Jadi aku susul kamu ke sini.”
Aku tersenyum dan menghela nafas lega. Untunglah ada Maya. Jika tidak, entah bagaimana nasibku nanti, “Maaf, Maya. Ada halangan sedikit. Ayo kita pulang.” Kemudian, Maya mengangguk dan tersenyum pada ibu itu. Kami pulang dengan lega. Benar-benar hari yang panjang bagiku.
Aku menatap bayi di dalam gendongan ibu itu. Bayi itu tidur dengan damai dan tenang. Kemudian, aku melirik ke arah tangan ibu yang mendekapnya. Rupanya, kukunya diwarnai merah, namun tidak seseram yang tadi kulihat. Dot yang kukira berisi darah itu pun rupanya hanya sebotol susu bayi.
“Kamu ingin pulang sekarang atau kita pulang minggu depan?” tanya Maya ketus, “Ini tasmu,” ujarnya sambil menyodorkan tasku. Aku dan Maya pulang sambil melepas lega di bawah sinar matahari yang tersenyum cerah. Bisikan angin kini menjadi bersahabat. Namun aku merasa masih ada yang terlewat olehku.
“Eh, Maya, hari ini tanggal berapa, sih?” tanyaku penasaran. Maya tersenyum dan menjawab pelan, “31 Oktober, Halloween.”
Tanpa disadari siapapun, setelah kepergian Maya dan Vilvia, bayi dan ibu itu tersenyum sangat lebar, nyaris membelah wajah mereka. Mungkinkah apa yang dibayangkan Vilvia memang benar terjadi?
*****