Minggu, 06 Desember 2015

Favorite Chocolate


When life is sweet, say thank you and celebrate. And when life is bitter, say thank you and grow~


Hayoo, siapa yang suka cokelat di sini? Kalau bagi aku sendiri, cokelat sudah jadi bagian tak terpisahkan dari hidupku. Tanpa cokelat, hidup terasa hambar (eeaa). Berhubung sekarang sudah bulan Desember, dan tiga bulan lagi kita akan merayakan Valentine (abaikan haha), maka di sini akan dijabarkan beberapa jenis cokelat beserta arti-artinya.


  • Cokelat (Milk Chocolate)
Cokelat inilah yang paling umum kita dengar dan kita ketahui. Jenis cokelat ini juga yang paling banyak diproduksi dan dijual, juga seringkali menjadi jenis cokelat favorite. Setiap perusahaan memproduksinya dengan campuran yang berbeda-beda, sehingga rasa yang dibuat juga bermacam-macam, tergantung selera masing-masing individu.
Orang yang menyukai cokelat ini adalah tipe orang yang lembut dan penuh kasih sayang. Biasanya mereka adalah orang yang ramah dan bersahabat, serta murah senyum pada siapa saja. Ia senang berbagi dan ikut bahagia ketika melihat senyum orang lain.
Namun, penyuka cokelat ini kerap kali rendah diri dan suka menyalahkan diri sendiri. Maka, mereka harus memiliki seorang pendamping atau sahabat yang bisa terus memberi semangat padanya.  

  • Cokelat Pahit (Dark Chocolate)
Cokelat pahit juga seringkali disukai, terutama oleh kalangan remaja dan orang dewasa yang sudah kurang menyukai rasa manis. Kadar pahit cokelat ini juga beragam, tergantung pada perusahaan yang memproduksinya. Jenis cokelat ini cenderung lebih sehat dikonsumsi, karena kandungan gulanya yang lebih sedikit. 
Penyuka cokelat pahit adalah seorang pekerja keras dan pantang menyerah terhadap tantangan dan cobaan yang dimilikinya. Ia adalah seorang yang optimis dan rajin, serta fokus pada tujuan yang sudah dibuat sebelumnya. Mereka adalah orang yang berani dan tidak takut pada kegagalan.
Namun terkadang, penyuka cokelat ini akan melakukan segala cara agar tujuannya tercapai, juga karena harga dirinya yang tinggi. Tidak heran, ketika mereka merasa gagal dalam meraih keinginan mereka, mereka akan sangat down, bahkan dapat mengakibatkan stress dan depresi. 

  • Cokelat Putih (White Chocolate)
Cokelat putih sebenarnya bukan terbuat dari biji cacao secara langsung, melainkan hanya dari mentega cacao saja. Mentega ini kemudian dicampur dengan susu dan gula. Karena tidak mengandung bubuk dari biji cacao, maka cokelat putih tidak berwarna cokelat. Cokelat putih juga tidak terasa pahit seperti cokelat pada umumnya, namun memiliki aroma yang sama seperti cokelat.
Orang yang menyukai cokelat putih biasanya adalah orang yang jujur dan terbuka. Mereka akan membenci kebohongan, sekecil apa pun kebohongan itu. Bagi mereka, kebohongan sekecil apa pun tetap disebut dengan kebohongan. Mereka memegang teguh prinsip mereka dan sulit digoyahkan.
Mereka adalah orang yang keras kepala. Ketika mereka memiliki pendapat, mereka akan mempertahanan pendapatnya sampai tetes darah penghabisan. Mereka sangat jago dalam hal berdebat dan mengutarakan pendapat.  
Itu beberapa jenis cokelat. Pesan khusus untuk penyuka cokelat, jangan makan cokelat berlebihan. Walaupun bisa mencegah penyakit jantung, segala yang berlebihan tidak akan berakibat baik.

Peace~

Jumat, 04 Desember 2015

Jawaban Paling Mengesalkan


Perlakukan orang lain seperti memperlakukan dirimu sendiri~


Kita sebagai makhluk sosial, tentunya memiliki dorongan untuk berinteraksi dengan makhluk-makhluk lainnya, khususnya manusia. Tapi, tentu dengan beragamnya cara pandang tiap manusia, beragam pula cara mereka bersosialisasi. Meskipun begitu, bukan berarti kita tidak perlu berkomunikasi dengan sesama.

Di abad yang sudah mulai maju ini, perkembangan bahasa dan pola pikir masyarakat sudah berkembang pesat. Begitu pula dengan cara bicara dan perilakunya. Kita mungkin saja merasa kesal atau bahkan marah ketika perilaku atau perkataan mereka tidak sesuai dengan keinginan kita atau sedikit menyinggung perasaan. Intinya, jangan terlalu dibawa perasaan atau dimasukkan dalam hati. Memang inilah akibat perkembangan zaman, dan kita sebagai manusia yang hidup di dalamnya juga mau tak mau harus ikut berbaur dalam kehidupan ini.  

Nah, kali ini akan diberikan beberapa jawaban paling mengesalkan yang mungkin diberikan ketika kita sedang bercerita atau sedang bertanya. 


  • Terserah
Jawaban "terserah" ini kerap kali kita dengar dari mulut kaum perempuan maupun laki-laki. Biasanya, jawaban ini diberikan untuk beberapa alasan, misalnya karena malas menjawab; sedang banyak pikiran; sedang marah; berharap keinginannya dipahami oleh orang lain; atau benar-benar menyerahkan keputusan pada orang lain.
Jawaban ini akan terdengar mengesalkan jika kata "terserah" hanya di mulut saja, tapi setelah diambil keputusan, malah tidak setuju. Ini berarti di dalam hatinya, ia sudah memutuskan sesuatu, namun ingin orang lain mengerti dan menebaknya. Sayang sekali, selama kita terlahir sebagai manusia, kita sendiri tidak bisa menebak pikiran orang lain jika tidak diucapkan.
 
  • Oh.
Ketika kita sedang seru-serunya bercerita tentang pengalaman kita atau curhat tentang kejadian memalukan, kita tentu berharap akan diberikan respon yang sedikit mendukung. Tapi apa rasanya jika cerita kita hanya ditanggapi dengan satu gerakan mulut saja, "oh"? Tentu akan terasa menyebalkan.
Jawaban ini akan diberikan hanya untuk dua alasan sederhana: ia sedang malas menjawab; atau memang sedang bertingkah usil karena ia tidak ada kerjaan lain. Tapi pada intinya, orang yang memberi jawaban ini memang mendengarkan kita, entah dengan sepenuh hati atau hanya setengah hati saja. Mungkin saja, ia malas menjawab karena pikirannya sedang jenuh atau mood-nya memang sedang jelek. Daripada menyela di tengah-tengah cerita, mungkin memang lebih baik memberi respon seadanya.
 
  • Sabar aja, ya.
Entah kenapa hari ini penuh kesialan-kesialan menyebalkan. Jatuh dari tangga, terpeleset tahi cecak, lupa membuat PR, nilai ulangan yang membuat sakit mata, kunci rumah hilang, dicakar kucing tetangga, disangka maling rambutan, salah bicara ketika presentasi, orang tua yang cerewet, hingga lupa membeli garam di pasar. 
Usai bercerita panjang lebar, entah kenapa "sabar aja, ya" menjadi jawaban yang paling sering di dengar dalam sesi curhat. Dan terkadang, mendengarnya lagi dan lagi mulai terasa menjengkelkan. Kalimat itu memang tidak membantu sama sekali. Tidak meringankan beban, tidak memperbaiki mood, dan terutama, tidak menyelesaikan tugas. Padahal, dalam hati sudah berharap akan mendapat bantuan, tapi rupanya hanya mendapat respon "sabar aja, ya" yang sama sekali tidak membantu. 
 
  • Baper, ah!
Di abad ke-21 ini, kosa kata anak muda sudah semakin berkembang (kecuali bagi saya yang sudah tua--ehh). Kata "baper" alias "bawa perasaan" ini pun sudah sering terdengar di telinga kita. Namun terkadang, bagi kita yang masih berjiwa polos dan klasik ini, kata itu terdengar menyesakkan dan menjengkelkan. 
Wajar saja kalau kita merasa sedih ketika kehilangan atau merasa terkhianati oleh sesuatu, karena kita juga merupakan umat Tuhan yang berperasaan, berperikemanusiaan, dan tidak berpaham penjajahan. Apalagi bagi perempuan, mementingkan perasaan itu sudah menjadi kodrat wanita sejak lahir. Karena itu, kata baper sendiri seperti panah yang menusuk langsung ke ulu hati, dan membuat kita berpikir ulang, apa kita yang terlalu memasukkan ke dalam hati segala yang telah terjadi? 

  • Kepo
Kalau tidak salah, kata ini juga beredar di sekitar abad 21. Kepanjangan kepo sendiri masih merupakan misteri, karena tiap sumber mengatakan kepanjangan yang berbeda-beda. Tapi dari hasil survey berpuluh-puluh tahun lamanya, singkatan "KEPO" memiliki arti "Knowing Every Particular Object."
Bagi yang belum tahu arti kepo dan bagaimana cara menggunakannya secara efektif, berikut ini akan dijabarkan secara singkat dan padat (ps: belum tentu jelas). Kepo awalnya digunakan untuk menyebut orang-orang yang selalu kepo (abaikan). Maksudnya, orang-orang inilah yang mengetahui setiap sisi dari kehidupan orang lain. Padahal, terkadang hal tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan kehidupannya sendiri, tapi karena keingintahuannya yang kelewat batas, ia jadi tahu segala hal dalam hidup orang lain.    
Kata kepo ini sendiri bisa dipakai saat sedang tidak mau menjawab suatu pertanyaan, atau untuk menghindari kebohongan. Contohnya, si A bertanya pada si B, "Eh, B, kakak dari temennya suami nenek buyut sepupu lo itu ngapain ke sekolah kita, pake baju norak banget lagi. Nyariin siapa sih? Elo, ya?" Nah, terus si B mikir dalem hati, Oh iya, kemarin sih kakak dari temen suami nenek buyut sepupu gue ke sekolah kan buat nyariin guru kesehatan yang kabarnya ganteng banget itu. Mana bisa aku jawab kayak gitu ke dia, bisa-bisa gue dikira apaan lagi. Jadi, si B cuma jawab "Masa nyariin gue? Ya kagak lah. Kepo lo ah."

  • Siapa... yang nanyaaa!
Baru-baru ini, ada sistem baru di kalangan anak muda untuk menjahili teman-temannya. Setelah bercerita penuh semangat sampai nyembur sana-sini, dan akhirnya mendapat respon yang cukup memacu mood bercerita, "Siapa...??". Tentu kita dengan bangga akan menjawab pertanyaan ini sesuai konteks cerita. Tapi sayang sekali, rupanya pertanyaan itu belum selesai, karena masih ada lanjutan "...yang nanyaaa!!" 
Dan sistem seperti ini bukan hanya berupa satu bentuk kata tanya. Sistem ini sudah dikembangkan sendiri oleh masing-masing kalangan anak muda. Misalnya, "Masa.... bodooo!!" atau "Apa... aku tanyaaa??" Jelas saja, kata-kata yang memiliki satu tujuan mengusili orang lain ini benar-benar membuat wajah merah sekaligus menghilangkan mood untuk lanjut bercerita. 

  • Cius?
Kata "cius" ini merupakan pelesetan dari kata "serius" yang di-lebay-lebay-kan. Ketika kita bercerita dengan tampang amat-sangat serius, seolah Mars akan diledakkan dengan bom atom karena nyaris bertabrakan dengan Bumi (abaikan juga) tapi malah direspon dengan pertanyaan "cius?" tentunya akan membuat suasana hati memanas.
Sebenarnya, kata cius ini sudah jarang digunakan karena memang sudah lama berlalu. Karena sistem anak zaman sekarang yang berlalu biarlah berlalu, maka kata cius sudah dianggap ketinggalan mode. Tapi jangan salah, bukannya tidak ada lagi yang menggunakan kata ini untuk menyalakan api peperangan. 
Akibat yang bisa disebabkan oleh kata cius ini yaitu hilangnya mood untuk lanjut bercerita, putusnya persahabatan, hilang nafsu makan, bahkan sampai kasus berkurangnya pelanggan rumah makan cepat saji (lupakan). 

  • Mau Tau Aja atau Mau Tau Banget?
Jujur saja, kalimat ini sudah sangat jarang dipakai, dan hanya dipakai jika sudah tidak ada pilihan lain. Tujuannya hanya satu, yaitu untuk mengulur-ulur waktu. Entah mengulur waktu karena usil atau memang ragu untuk menjawab. Dalam keadaan biasa, menghadapinya memang tidak terlalu menyebalkan dan tidak terlalu menguras energi. Tapi, bagaimana kalau pertanyaan ini didapat ketika sedang mengutarakan hal penting? 
Misalnya, ketika menembak sang pujaan hati. Sudah susah-susah merendahkan harga diri dengan berlutut di depan doi sambil menyerahkan bunga dan cincin, dan bergaya seperti pangeran kehujanan (hujan keringat karena iklim tropis) sambil berkata, "Will you marry me, baby?" Tapi, sang pujaan hati hanya menjawab dengan satu kalimat meragukan "Mau tau aja atau mau tau banget?" Pasti akan muncul keraguan dalam hati, seberapa serius dia memberi respon. Selain menuai tawa dari berbagai pihak, keseriusan ritual lamaran ini pun akan berkurang drastis.

Sekian. See u later! ^-^

Selasa, 01 Desember 2015

Apa Arti Warna Hidupmu?

Pelangi tak akan indah jika hanya terdiri dari satu warna~

Dunia ini tersusun oleh berjuta warna, berpadu dalam kesatuan alam semesta. Semua warna menyusun polanya masing-masing. Namun, pasti ada satu atau dua warna yang menurut kita lebih istimewa dari yang lainnya, mungkin karena sebab-sebab tertentu. Warna bukan hanya sekadar pantulan cahaya, namun juga dapat dijadikan pantulan hati dan kepribadian. 

Untuk itu, akan dijabarkan beberapa warna yang merepresentasikan sifat dominan dalam hidupmu. Lalu, apa warna kesukaanmu?


Putih (White)

Putih adalah warna yang murni dan bersih. Warna ini adalah warna yang melambangkan kejujuran dan keterbukaan. Artinya, penyuka warna ini memiliki sifat yang terbuka, jujur pada diri sendiri maupun orang lain. Putih bisa melambangkan awan yang bebas atau pun salju yang lembut. Bebas namun memiliki kelembutan hati, itulah sifat asli sang penyuka warna putih.

Putih juga merupakan gabungan dari warna-warna pelangi dalam komposisi yang seimbang. Maka, penyuka warna putih adalah orang yang mengedepankan keadilan dan tidak pilih kasih. Namun, berhati-hatilah, apa yang disebut keadilan bukanlah keadilan yang sebenarnya. Ikuti kata hatimu, karena hati yang akan menunjukkan kebenaran yang sesungguhnya.


Abu-Abu (Grey)

Abu-abu adalah warna yang maskulin, namun juga menunjukkan sifat yang gentle. Kamu memang memiliki watak yang tegas, namun kamu tidak akan tega melihat orang lain dalam keadaan sulit. Jika kamu adalah seorang wanita, kamu memiliki sifat yang tomboi. Teman-temanmu akan merasa aman jika berada di dekatmu karena auramu yang menenangkan.

Kamu adalah pembela kaum lemah, juga bersahabat pada siapa saja. Orang-orang senang berteman denganmu, juga karena sifatmu yang ramah dan tidak mengintimidasi. Tapi ingatlah, jangan sampai kamu diperdaya dan dimanfaatkan orang lain karena kebaikanmu dan rasa tidak tega yang memang sudah kamu miliki sejak lahir. 


Hitam (Black)

Hitam bukanlah warna kegelapan yang jahat dan mengerikan. Hitam adalah warna yang penuh misteri. Penyuka warna hitam terkadang terlihat biasa saja, namun di dalamnya menyimpan kemampuan dan potensi yang begitu besar. Tidak akan ada yang dapat mengira-ngira seberapa dalamnya kemampuan yang dimilikinya. Penyuka warna ini adalah orang yang giat, namun misterius. Ia jarang mengutarakan tujuannya sebelum mencapainya. 

Kamu yang menyukai warna hitam adalah orang yang pantang menyerah dan kuat menghadapi cobaan. Kamu akan terus tegar dan kuat, sampai titik darah penghabisan, sampai kamu mencapai tujuanmu. Pesan untukmu, jangan pernah menyerah dan merendahkan dirimu sendiri, karena takkan pernah ada yang tahu seberapa besar kekuatan yang kamu miliki sampai saat kamu membuktikannya. 


Merah Marun (Dark Red)

Merah marun atau merah gelap adalah warna misterius sekaligus berani. Kamu menyukai tantangan, namun juga berpikir tentang resikonya. Kamu sudah memikirkan tentang masa depan, karena kamu adalah orang yang konsisten dan terarah. Kamu fokus pada satu titik dan kemampuan konsentrasimu sangat bagus ketika diperlukan.

Untuk hal-hal yang kamu anggap penting, hal itu akan kamu fokuskan dan kamu perjuangkan. Kamu tak segan-segan melakukan sebisamu untuk meraihnya. Namun, jika resikonya terlalu besar dan tidak sebanding, kamu tahu saat kamu harus berhenti. Tapi, kamu harus juga melihat ke sekelilingmu, jangan hanya terfokus pada satu hal saja, sehingga hal-hal lain jadi tertinggal. 


Merah (Red)

Penyuka merah adalah orang yang ambisius dan berani menantang bahaya. Memiliki semangat tinggi adalah salah satu sifat penyuka merah. Kamu dapat memotivasi orang lain agar terus maju dan pantang menyerah. Kamu memiliki prinsip hidupmu sendiri yang tidak dapat diganggu gugat orang lain, dan hidupmu akan kamu perjuangkan untuk satu tujuan. 

Merah melambangkan api yang dengan berani berkobar-kobar. Layaknya pejuang negara, kamu tidak akan segan-segan untuk berdiri di garis depan ketika ada peperangan. Namun, jauh di dalam lubuk hatimu, kamu juga memiliki perasaan yang lembut dan penuh kasih. Hatimu hangat, dan kamu bisa menenangkan orang lain dengan saran dan nasihat yang kamu berikan kepada mereka. Ingatlah, setiap orang pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Hargai mereka, karena mereka juga memiliki kebaikannya masing-masing.


Merah Muda (Pink)

Penyuka warna merah muda adalah orang yang lembut, setia, dan romantis. Kamu lebih mementingkan perasaan orang lain dibanding dirimu sendiri. Meskipun kamu memiliki keresahan dan masalahmu sendiri, kamu dengan pandainya menutupi perasaanmu. Hatimu rentan dan mudah tersinggung, karena perasaanmu begitu lembut seperti kapas.

Penyuka warna merah muda terkadang terlihat sebagai sosok yang lemah, namun sebenarnya kamu menyimpan kekuatan yang begitu besar. Meski dilukai berkali-kali, penyuka warna ini tetap tegar tanpa memperlihatkan luka yang sebenarnya. Kamu mungkin bisa tertawa bebas di lingkunganmu, karena kamu memang sosok yang lembut dan ramah. Namun, jujurlah pada dirimu sendiri, karena orang-orang di sekitarmu juga ingin mengenalmu. Mereka juga ingin membantumu melewati masalah yang kamu hadapi.


Cokelat (Brown)

Penyuka cokelat adalah sosok yang pengertian dan pemaaf. Mungkin ada beberapa yang menyembunyikan sifat ini dibalik sosok yang tegas atau periang. Tapi, tulusnya senyum penyuka warna cokelat memang mampu menenangkan orang lain. Penyuka warna cokelat jarang mengungkit-ungkit kesalahan orang lain, karena ia memang seorang pemaaf yang tulus dan bukan seorang pendendam.

Jika kamu adalah seorang penyuka warna cokelat, kamu pasti menyadari penuh bahwa manusia tak luput dari kesalahan. Dengan adanya kesalahan-kesalahan itulah, manusia dapat dikatakan makhluk yang sempurna. Namun ingatlah, jika kamu begitu mudahnya memaafkan, orang lain akan memanfaatkanmu dan kembali mengulangi kesalahan yang sama. Ada saatnya kamu harus memberi pengertian pada orang itu jika ia sudah mulai kelewatan.


Jingga (Orange)

Orang yang menyukai warna jingga atau orange adalah orang yang berjiwa sosial dan dermawan. Kamu senang berbagi dan merasa bahagia saat melihat senyum orang lain. Tidak heran jika kamu disukai oleh teman-temanmu, karena kamu adalah orang yang tulus dan ikhlas dalam membantu orang lain. 

Mungkin tidak sedikit penyuka warna jingga yang merasa bahwa semua orang di dunia sama baiknya dengan dirinya, karena memang ia tidak mudah curiga pada orang lain. Lugu dan suka membantu orang lain adalah ciri khas penyuka warna jingga. Namun, kamu harus ingat bahwa temanmu mungkin akan terus mencari keuntungan darimu. Pilihlah sahabat yang baik dan tulus, yang tidak akan memanfaatkan kebaikanmu semata. 


Kuning (Yellow)

Penyuka warna kuning adalah orang yang hemat dan teratur. Kamu pasti sudah menyiapkan dan menyimpan segala sesuatu untuk keperluan mendadak di masa yang akan datang. Penyuka warna kuning juga merupakan orang yang teliti dan memiliki ingatan yang bagus untuk hal-hal yang dianggap penting. 

Kamu adalah seorang pengatur keuangan yang baik karena kamu tidak mudah berfoya-foya dan mengeluarkan uang dengan semena-mena. Kebanyakan, penyuka warna kuning akan menjadi orang yang kaya dan memiliki disiplin yang tinggi. Namun ingatlah, jangan terlalu pelit dalam hal mengeluarkan uang. Setiap orang butuh istirahat dan refreshing, karena uang bukan segalanya.


Hijau (Green)

Penyuka warna hijau cenderung naturalis dan pecinta alam. Kamu menyukai alam bebas dan senang menjelajah, menikmati karya ciptaan Tuhan. Kamu adalah orang yang apa adanya dan blak-blakan, senang mengutarakan pendapat dan berdebat. Penyuka hijau adalah orang yang teliti dan telaten, karena memelihara alam bukanlah hal yang mudah dilakukan.

Kamu menyukai udara bebas, namun tidak berarti membenci rumah. Kamu akan memilih untuk tinggal di alam yang masih bersih dan lapang, yang ditumbuhi pepohonan hijau dan hewan-hewan alam. Tapi, ingatlah bahwa bersosialisasi dengan orang lain juga penting dalam kehidupanmu.


Hijau Tosca (Turquoise)

Hijau tosca adalah warna yang tenang dan kalem (calm). Penyuka warna ini pun memiliki sifat yang tenang dan tidak mudah terbawa emosi. Ketika memecahkan suatu masalah, kamu akan berpikir dengan jernih dan dengan pikiran yang matang, sehingga saran darimu juga cenderung masuk akal dan bijaksana.

Sebagai perpaduan dari hijau yang pecinta alam dan biru yang pandai beradaptasi, kamu lahir sebagai sosok yang disegani, namun sederhana. Kamu tidak buru-buru dalam mengambil keputusan, dan memikirkan semua resiko dari tiap langkah yang akan diambil. Namun ingatlah, sikapmu yang tenang dapat terlihat sebagai sosok yang dingin. Lebih seringlah tertawa dan berbaur dengan teman-temanmu.


Biru Gelap (Dark Blue)

Biru gelap melambangkan misteri. Cara pandangmu yang berbelit-belit membuat kamu sulit dimengerti. Namun sesungguhnya, dibalik pemikiranmu itu, kamu adalah sosok yang rendah hati, dermawan, dan rela berkorban. Kamu adalah orang yang dapat dipercaya dan fokus dalam mengerjakan segala sesuatu.

Biru gelap juga menunjukkan sikapmu yang keren dan cool di mata orang lain, sehingga tidak jarang ada orang yang merasa nyaman berada di dekatmu. Namun, sesekali, jangan terlalu menyembunyikan dirimu yang sebenarnya. Kamu harus berusaha jujur dan menampakkan sedikit emosi dan perasaanmu pada diri sendiri maupun orang lain. Orang lain tidak akan mengerti jika kamu tidak mengutarakan apa yang kamu rasakan.


Biru (Blue)

Biru melambangkan laut yang luas dan menyimpan begitu banyak hal di dalamnya. Kamu bisa menyembunyikan perasaanmu di balik wajah datarmu, padahal hatimu sedang dilanda arus deras dan badai yang meraung-raung. Kamu hanya akan menunjukkan perasaanmu yang sejujurnya pada orang yang benar-benar kamu percaya, pada orang yang sangat dekat denganmu. 

Namun kamu juga pandai beradaptasi sesuai lingkunganmu. Kamu bisa bersikap dingin, namun juga bisa ceria dan berseri-seri. Seperti laut, mood-mu mudah berubah-ubah, dan semuanya nampak dari balik matamu, karena mata adalah jendela jiwa. Ingatlah, terkadang penting untuk menunjukkan perasaan senang dan sedihmu pada orang lain, agar mereka juga dapat membantu dan memberimu motivasi untuk melakukan yang terbaik.


Ungu (Purple)

Penyuka warna ungu adalah orang yang setia dan penyayang. Kamu akan melakukan atau menyukai suatu hal sampai akhir, karena kamu adalah orang yang keras kepala. Karena itulah kamu menjadi sosok yang setia, serta sulit melepaskan segala sesuatunya. 

Namun, di sisi lain, penyuka warna ungu juga seorang yang pendendam. Ia sulit melupakan sesuatu dan akan terus menyimpannya dalam hati rapat-rapat. Namun karena memiliki sifat penyayang, rasa dendam itu hanya disimpan dalam hati, dan sangat jarang ditampakkan ke luar. Pesan untukmu, jangan menyimpan dendam dalam hati. Belajarlah untuk memaafkan dan mengikhlaskan.


Emas (Gold)

Warna emas memang warna yang jarang di dengar dan bukan warna yang umum dipakai. Emas identik dengan perhiasan yang glamour dan terkesan serakah, namun sebenarnya tidak begitu. Penyuka warna emas adalah seseorang yang perfeksionis, serba sempurna. Kamu adalah orang yang teliti dan cekatan, dan menyukai penampilan yang rapi dan sopan.

Penyuka warna emas biasanya dijadikan teladan bagi teman-teman dan orang lain. Hal ini dikarenakan kamu memiliki tujuan yang jelas dan disiplin dalam mencapainya. Kamu tidak akan terpengaruh oleh hal-hal lain yang menghambat cita-citamu. Namun, kamu harus tahu bahwa tiap orang pasti memiliki kekurangan. Kamu harus bisa membalikkan kekurangan itu menjadi kelebihannya.


Perak (Silver)

Penyuka warna perak adalah orang yang percaya diri, namun juga perhatian pada orang-orang di sekitarnya. Kamu tidak mementingkan diri sendiri, sehingga orang-orang merasa ingin dekat denganmu. Ketika ada permasalahan, kamu akan meminta pendapat teman-temanmu dan tidak egois. 

Kamu juga adalah sosok yang rajin dan bijaksana, sehingga tak jarang penyuka warna perak ini menjadi pemimpin yang disegani orang. Kamu menerima setiap pendapat dan kritik yang diberikan orang kepadamu. Kamu juga dapat menerima kekalahan. Namun, ingatlah bahwa tidak semua kritik yang kamu terima disampaikan untuk kebaikanmu. Jangan sampai kamu jadi down karena terlalu meresapi segala kritik yang diberikan orang kepadamu.



Namun pada dasarnya, setiap manusia itu berbeda-beda dan istimewa. Kita juga tak bisa membuat semua orang menyukai cara kita. Lakukan apa yang harus kamu lakukan. Hiduplah dengan menjadi dirimu sendiri, life for who you are.


~

Past



Everytime I see your face, I fall in love with you, over, over, and over again~~

"Aku ingin pergi, jauh, menggapai bulan, mengikuti bintang. Aku akan pergi selamanya, berlari dari segalanya, menembus mimpi, dan aku takkan pernah kembali. Aku takkan dikekang oleh waktu, aku akan bebas selamanya, melayang tinggi di lautan biru di atas sana."
Dia menunjuk jauh ke atas, matanya bercahaya penuh harapan menatapku. Bibir kecilnya tersenyum lebar membentuk garis tipis. Di lapangan penuh dandelion putih, seorang gadis dengan rambut hitam panjang dan gaun merah, berdiri di tengah angin sepoi-sepoi dan udara sejuk. Tatapannya jauh merantau angkasa, seolah ia memiliki sayap putih besar, dan kapan saja dapat terbang pergi dari sisiku.
Aku menatapnya sedih. Dia tampak begitu suci, begitu murni, di bawah cahaya redup pagi hari. 
"Kau ingin pergi?" Aku berbisik pelan dengan suara gemetar menahan tangis di sampingnya. Ada tersirat nada kecewa dalam suaraku. Gadis itu menatapku di balik kelopak matanya yang sendu. Mungkin aku terkesan manja dan egois, tapi aku benar-benar tidak ingin dia pergi. Selamanya aku ingin dia berada di sisiku, menemaniku bermain tiap pulang sekolah.
"Hei," suaranya menghasilkan gema mendalam dalam relung hatiku, "Kamu kan cowok, jangan menangis, dong!" Dia mengacak rambutku pelan.
Beberapa kupu-kupu putih berterbangan mengiringi senyumnya, seolah mendapat sinyal kepergiannya yang semakin dekat. Awan kelabu mulai menutupi cahaya matahari, tapi cahaya yang menyinari gadis itu semakin menyilaukan.
Seolah ditelan cahaya, gadis itu menghilang. Bidadariku pergi meninggalkanku sendiri untuk selamanya.

***

"Ouch!"

Aku mengumpat pelan ketika telingaku ditarik dan diputar tanpa perasaan. Tanpa perlu menoleh, aku tahu bahwa yang menjewer telingaku adalah seorang wanita paruh baya bergaya rambut bob dengan kaca mata runcing berantai menghiasi wajahnya. Bu Georgia, wali kelasku sekaligus guru mapel IPA yang sangat-sangat kusayangi.

"Kamu sudah pintar, ya? Berani-beraninya kamu tidur dalam pelajaran saya! Coba kamu jelaskan apa yang saya jelaskan tadi, atau kamu boleh keluar dari kelas saya!"

Aku memutar bola mata, sementara seisi kelas menatapku dengan maklum. Guru ini memang entah mengapa sangat membenciku, bahkan dari saat pertamanya mengajar di kelas ini. Dia seolah-olah memiliki feeling bahwa aku akan menghancurkan peradaban ekosistem alam dan memusnahkan umat manusia di masa depan nanti. Ya, mungkin saja akan kulakukan seandainya guru itu terus-menerus menerorku.

Aku memilih untuk keluar kelas. Di tengah tatapan takut bercampur kagum dari mereka, aku membereskan tas asal-asalan dan berdiri keluar dari kelas. Bu Georgia sudah membuka mulutnya untuk kembali mengutarakan kejengkelannya padaku, namun aku terlanjur membanting pintu kelas. Aku memang ingin sekali melihat wajahnya merah menahan amarah, namun pemikiran "kantin" sebagai tujuan berikutnya membuatku mengurungkan niatku untuk berlama-lama dalam kelas.

Di bawah terik matahari, kantin SMA Satu Langkah Lebih Maju atau disingkat SaLah LiMa--itu sekolahku sejak tiga semester yang lalu--begitu sepi, karena sejujurnya saat ini memang bukan saat yang tepat untuk berjajan-ria. Saat ini baru saja memasuki jam kedua, yang berarti masih dua jam lagi untuk melepaskan kepenatan belajar, alias waktu istirahat.

Tanpa menghiraukan tatapan aneh ibu kantin, aku menyebutkan rentetan makanan yang ingin kulahap.

"Nasi bungkus satu, tahu goreng dua, risol dua, teh botol satu." Ucapku malas pada ibu kantin. Saat kesal begini, biasanya organ pencernaanku akan bekerja lebih cepat. Dengan kata lain, aku akan menjadi lebih lapar dari biasanya. Ditambah lagi, melihat kaca mata runcing Bu Georgia mengingatkanku bahwa aku belum sarapan pagi ini.

Ketika tengah menikmati makanan kantin--yang sebetulnya tidak enak sama sekali namun terpaksa kulahap untuk mengganjal perut--di tengah siang bolong, seseorang menjawil bahuku keras-keras sehingga risol yang sedang kumakan nyaris tertelan bulat-bulat (aku yakin risol tidak bulat).

Aku menoleh pada tersangka utama yang berdiri di belakangku, berusaha mendelik dan memasang tampang yang paling tidak enak dipandang sepanjang masa. Jika orang itu adalah orang yang kubenci dan dia berusaha membuat mood-ku jadi lebih buruk lagi, aku takkan segan-segan untuk menyumpalkan risol sisa gigitanku ini ke kerongkongannya.

Baru saja aku menoleh, ternyata yang tampak di depanku adalah seorang gadis berlesung pipi yang menatapku panuh arti. Maksudku, dalam artian buruk. Wajahnya bersungut-sungut kesal, tangannya terlipat di depan dada. Gadis itu menggumamkan sesuatu, sebagai pertanda kekesalannya yang memuncak. Bahkan, dia tidak lagi memedulikan wajahku yang tidak kalah sengit karena isi risol terakhirku tumpah-ruah ke atas meja kantin.

Dia adalah gadis teman sejak kecilku sekaligus teman sekelasku. Eh, jangan salah paham dulu. Aku dan dia tidak terhubung oleh perasaan-perasaan yang semacam itu, atau relasi-relasi tertentu yang bersifat rahasia, atau semacamnya. Kami murni sebagai teman sekaligus musuh debat, selalu bertengkar setiap saat karena kami berbeda 360 derajat, yang artinya kami bertemu dalam satu titik yang sama dan selalu mendebatkan hal yang bertolak belakang.

Seperti sekarang, misalnya.

"Apa yang kau lakukan, idiot?!" hei, sembarangan saja dia menyebutku idiot! "Seenaknya saja kau keluar dari kelas IPA begitu. Kamu punya malu, nggak, sih? Aku heran kenapa kamu bisa masuk kelas IPA begini. Waktu tes ujian penyaringan, kamu nyontek siapa, sih?" aku menyontekmu, tahu! Aku memutar bola mata. Meskipun dalam hati aku ingin membalas perkataannya, sangat disayangkan karena aku hanya bisa mengoceh dalam hati, lantaran sibuk mengunyah risol yang hanya tinggal kulit saja.

"Kamu pernah mikir nggak sih, orang tuamu sudah susah-susah membiayaimu untuk..."

Aku cepat-cepat menelan makanan, lalu berdiri dan memotong perkataannya. "Heh, kok loe yang rese? Ortu ya ortu gue, kelas ya kelas gue walaupun itu kelas loe juga, kaki ya kaki gue, mau angkat kaki dari kelas itu atau nggak, ya itu terserah gue dong! Ngomong-ngomong, loe juga bukan siapa-siapa gue. By the way, loe sendiri juga keluar dari kelas kan? Tahu malu nggak, keluar kelas seenaknya!"

Aku berjalan menuju kotak sampah terdekat dan membuang bungkus-bungkus makanan sekenanya (maksudnya, asal kena kotak sampah saja, tidak peduli masuk atau tidaknya). Lalu berdiri di depan wajahnya, menjulang tinggi karena memang gadis itu termasuk pendek untuk seusianya.

"Maaf mengecewakan, tapi aku keluar karena disuruh Bu Georgia. Aku satu-satunya murid yang lulus ulangan minggu lalu, jadi aku dipersilakan keluar kelas lebih cepat. Aku bukan kamu, yang keluar karena satu-satunya murid yang tidur di kelas." Dia menengadahkan kepala, berusaha merendahkanku, walaupun gagal total karena aku masih lebih tinggi darinya.

Aku tahu dia bohong. Tapi apa salahnya jika aku mengikuti permainannya sejenak?

"Heh, Miss Christanti Lusia, loe rupanya nggak lihat John yang tidur pulas di belakangku tadi? Memang, dia menutupinya dengan buku, tapi tak kusangka Miss Nerd kelas ini tidak menyadari hal sejelas itu. Aku yakin saat ini John sedang menikmati angin musim gugur di Jepang dalam mimpinya. Aku keluar bukan karena aku tidur, tapi karena Bu Georgia yang memang sangat menyukaiku, sampai-sampai aku diberi kehormatan untuk keluar lebih awal," ucapku sarkastis.

Wajahnya semakin memerah, menahan amarahnya yang semakin memuncak. Aku beruntung karena tidak ada panah dan busur di dekat-dekat sini, karena Chris memang ahli dalam hal memanah. Memang, meskipun memiliki rambut lurus panjang melebihi lutut, tidak ada yang dapat menghalanginya menjadi gadis tomboi, ahli bela diri, dan bermulut pedas. Tidak heran jika ada pepatah mengatakan agar jangan melihat buku dari covernya.

Setelah menatapnya dengan pandangan yang kubuat sedatar yang kubisa, aku berbalik dan melangkah pergi. Chris sempat meneriakiku beberapa kali, namun aku tetap melangkah. Tidak sedikit pun aku menoleh padanya. Hingga aku menyeruput tetes terakhir teh botol yang baru saja kubeli di kantin, aku sama sekali tak menoleh.

By the way, Chris bukan siapa-siapa bagiku.

***

Aku membanting pintu kayu berpelitur yang menjadi pembatas dunia luar dengan rumahku. Kalau boleh jujur, rumah ini mengerikan. Di balik rupanya yang biasa dan damai, rumah ini telah melahap segala suasana kegembiraan keluarga ini. Perlahan-lahan, rumah ini seolah merenggut keceriaan, menyisakan rasa sepi yang mengambang-ambang. Kami memang bukan keluarga kaya, namun aku berani mengakui bahwa dulu kami termasuk dalam salah satu keluarga paling harmonis di kota ini. Dulu, setiap menjejaki kaki di teras rumah ini, akan tercium aroma manisnya saus mentega atau hangatnya air mandi. Akan tampak lampu-lampu lorong yang berderet menyambut tiap langkah kecil anggota rumah ini. Selalu terdengar dendang tawa riang dari tiap jengkal dinding.

Namun, kehangatan itu tak lagi bersisa. Lima tahun yang lalu, ketika aku masih berusia 11 tahun, Ayah dan dua adik kembarku tewas dalam kecelakaan lalu lintas. Seorang pengendara truk mabuk dan menggilas habis ketiga anggota keluarga ini berserta motornya. Sementara itu, Ibu melarikan diri dari kenyataan, sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berfoya-foya dan bepergian keliling negeri.

Dan tinggallah aku di sini, bersama kegelapan yang setia menyambutku setiap kepulanganku kemari. Aku melempar sepatuku sembarangan, menyisakan lumpur di sana-sini. Memang, hujan sempat turun sepanjang perjalananku dari sekolah ke rumah ini, mengakibatkan genangan air di tanah basah. Tak menghiraukan seragamku yang kotor dan rambutku yang basah, aku berjalan santai ke arah lemari pendingin dan mengambil kaleng soda persediaanku dari dua bulan yang lalu.

Aku menjejak di ruang tamu dan duduk di sofa tanpa terlebih dahulu menyalakan lampu. Aku sudah biasa dengan kegelapan. Jika kalian ingin mengatakan bahwa aku mirip sejenis makhluk kegelapan, itu hak kalian. Dengan jempol kaki seadanya, aku menekan tombol power televisi tepat di depanku.

Ya, beginilah kehidupanku tiap hari. Dan jika hari ini sama seperti hari-hari sebelumnya, maka yang akan terjadi berikutnya adalah...

Klik!    

Ruangan itu menyala terang-benderang karena ada yang menyalakan lampu 15 watt di tengah ruangan. Aku tidak perlu repot-repot melihat sosok yang seenaknya masuk ke rumahku tanpa permisi itu, karena memang itulah yang ia lakukan setiap hari. Siapa lagi kalau bukan Chris?

Gadis itu berdiri dengan muka masam, tidak berkurang sedikit pun dari tadi pagi. Aku mengerang, namun tak melepas pandanganku dari film action di depanku ini. Bagaimana tidak bosan seandainya setiap hari ada seorang penyusup tak berperikemanusiaan yang seenaknya berlagak seperti ibuku sendiri?

Mungkin kalian menyalahkanku soal mengunci pintu depan atau menggembok pagar. Tapi jujur saja, aku sudah mengunci seluruh pintu di rumah ini dengan serapat mungkin. Jendela juga sudah kututup rapat dan dikunci dengan segenap usahaku. Sayangnya, hal itu tidak berpengaruh untuk gadis di depanku ini. Dia bisa melebur dalam udara, memadatkan sebagian tubuhnya, membuat dirinya tak terlihat, berterbangan melalui cerobong asap, menembus bumi, dan segala macam hal yang tidak pernah kita ketahui sebagai manusia.

Tepat sekali, Chris bukan manusia. Dia hantu.

***

Kalau boleh jujur, aku tidak pernah meminta untuk dapat melihat hal-hal semacam itu disamping kemampuan manusia biasa lainnya. Sialnya, aku mendapat indera untuk merasakan dan melihat roh, khususnya Chris. Dan hanya Chris. Sejujurnya, aku tidak pernah melihat roh sebelum usiaku 13 tahun, dan aku juga tak pernah melihat roh selain Chris.

Intinya, roh yang bisa kulihat hanyalah Chris, entah apa sebabnya.

"Mau apa lagi, Nyonya Besar? Ingin sekali mengganggu privasi orang lain? Pernah terpikir di otakmu yang tembus pandang itu, bahwa terkadang seseorang tidak begitu mengharapkan kedatanganmu di sini? Well, melihat tampangmu yang nyaris menyerupai nenek lampir, tidak heran jika kamu tidak disambut baik oleh manusia seperti kami," ucapku sarkastis.

"Maaf ya, Tuan Manusia yang Rendah Hati dan Tidak Sombong. Aku bukannya ingin menghantuimu karena aku tidak memiliki teman lain. Jujur saja, aku juga tidak ingin terus berada di sini, seandainya aku tidak terikat oleh janji bodohku dengan ayahmu yang meninggal 5 tahun lalu itu. Dan sekali lihat saja semua orang pasti tahu betapa kacaunya kehidupanmu, Mister. Lihat saja, menyalakan lampu sendiri saja kau sudah tidak becus," balasnya tak kalah sengit.

Aku menatap sekilas tubuh kurusnya yang samar-samar dengan pandangan merendahkan, lalu kembali menatap televisi di depanku.

Ya, dia adalah gadis kecil dalam sekilas masa laluku. Gadis yang dulu selalu kuikuti ke mana pun dia pergi, menganggapnya seperti bidadari berbalut gaun merah di tengah dandelion putih. Dia adalah gadis yang menghiburku ketika tiga dari anggota keluargaku pergi untuk selama-lamanya. Dia adalah pemilik tangan kecil yang setia merengkuhku ketika aku sedang dalam jurang keputusasaan, ketika ibu pergi, ketika teman-teman menjauhiku, ketika guru-guru menyindirku, ketika dunia seolah memusuhiku.

Tapi itu hanya cerita lama, hanya sekelumit masa lalu yang sudah lama berlalu.



~~to be continued... ^^

Sabtu, 06 Juni 2015

Mysterious Morning

Terkadang, siang yang terang sebenarnya tak seterang itu. Percaya? 




Namaku Vilvia. Sampai tiga tahun mendatang, aku adalah siswi SMA Xaverius Lubuklinggau. Aku masih berstatus murid baru di sekolah ini. Rumahku tidak jauh dari sekolah. Tiap pagi, aku pergi ke sekolah bersama temanku, Maya. Maya adalah gadis yang pendiam, misterius, dan suka mengejutkan orang—menurutku ini bukan kebiasaan yang baik—serta sangat pandai dalam segala hal.

Semua bermula dari suatu hari yang mendung di jalanan yang basah dan penuh genangan air. Mentari pagi masih mengintip malu-malu dari peraduannya, dikelilingi arakan awan-awan. Aku berjalan pelan mengimbangi langkah Maya. Kami diam cukup lama, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sejak tadi, ada masalah yang mengganjal di benakku.

“May, kok aku merasa dihantui ya?” tanyaku serius, mengungkapkan isi benakku sejak kemarin malam.

Maya melirikku sambil tersenyum, “Mungkin hanya perasaanmu saja.”

“Aku serius. Sejak tadi malam, lho, May,” ujarku padanya, berharap ada reaksi lain dari temanku. Namun dia hanya tersenyum kalem, tanpa bicara apa-apa.

“Semalam di rumahku,” lanjutku mendramatisir, “Kran yang rusak tiba-tiba mengeluarkan air, dan airnya berwarna merah kecokelatan! Dan bukan itu saja, May. Aku melihat pena menggelinding jatuh dengan sendirinya. Lalu, pena itu tidak kutemukan sampai sekarang. Ditambah lagi, jendela kamarku terbuka, padahal aku tidak ingat pernah membukanya.”

Aku bergidik ketika membayangkan kembali peristiwa beruntun itu. Sementara itu, Maya terus berjalan sambil menghindari genangan-genangan air. Sesekali, hembusan angin meniup rambutnya. Setelah beberapa saat, barulah ia angkat bicara.

“Setiap malam aku merasakannya,” ucapnya datar dan misterius sehingga menarik perhatianku, “Setelah aku mematikan lampu kamar, aku merasa kamarku menjadi lebih gelap.” Aku meliriknya sebal. Kamar siapa pun pasti menjadi gelap jika lampunya dimatikan. Aku tahu jelas, bagaimanapun, Maya bukan tipe orang yang bisa bicara serius.

Namun sepanjang perjalanan, aku tidak bisa tenang. Maya tak membuatku merasakan ketenangan yang kuharapkan. Tiupan angin semakin kuat menerpa tubuhku. Bunyi daun yang saling bergesekan memenuhi kedua telingaku. Aku merasa ada yang memperhatikanku dari jarak cukup jauh. Berkali-kali, aku dibuat penasaran oleh sesuatu yang ada tepat di belakangku.

Sesampainya di sekolah, aku semakin ingin menoleh ke belakang. Aku dapat merasakan tatapan yang menusuk, membuatku merinding. Rasanya aku ingin bersembunyi. Tapi, Maya terlihat biasa saja, seolah tak ada apa-apa. Namun aku tahu, ada sesuatu yang berbeda hari ini. 

Seharian di sekolah, rasanya aku diliputi kesialan di tiap detiknya. Berkali-kali aku merasa angin dingin berhembus atau sebuah tangan mencengkram pundakku. Namun, setelah aku berbalik, tak ada siapa-siapa di sana. 

Aku salah menjawab soal dari guru berkali-kali. Bahkan aku sempat ditawarkan seorang guru untuk beristirahat di Ruang Kesehatan sekolah. Tetapi aku menolak mentah-mentah tawaran itu. Semua ini akan semakin buruk ketika aku harus tidur sendirian di dalam bilik yang gelap dan berbau obat. Aku tidak bisa membayangkan akan setakut apa aku di dalam sana. Mungkin saja aku tidak akan bangun untuk kedua kalinya.

Aku semakin was-was ketika pelajaran olahraga. Saat itu hujan turun dan kilat seolah merobek langit yang sudah abu-abu. Kami akan belajar cara men-dribble bola basket. Karena cuaca tidak mendukung, maka kami berniat melakukannya di teras kelas olahraga. 

Aku adalah seksi olahraga, maka aku yang diminta untuk mengambil bola di gudang. Pada hari biasa, aku tidak pernah khawatir seperti ini ketika mengambil bola. Jarak gudang dengan kelas memang tidak jauh, namun cukup menakutkan untuk dilewati sendirian di bawah kilatan halilintar. Aku melewati lorong-lorong gelap yang menghubungkan kelas olahraga dengan gudang sekolah. Angin dingin menyerbu tubuhku, mendesakku untuk kembali atau menciut di tempat. 

Bisikan-bisikan halus dari gemeresik daun menambah ketakutanku. Suasana sepi membuatku seolah berjalan melalui distorsi waktu ke masa lain. Dalam bayanganku, lorong ini menjadi sangat panjang, seolah tak ada akhirnya. Aku tertegun sejenak. Benar juga, mengapa lorong ini terasa sangat sepi? 

Aku ingin berhenti dan menoleh ke belakang, sekadar memastikan bahwa aku masih dalam dunia nyata. Namun aku takut. Takut jika seandainya aku memang berada dalam sebuah dunia lain yang berbeda. Jika benar, apa yang akan aku lakukan selanjutnya?

Akhirnya aku berhenti, dan berusaha menoleh ke belakang. Jantungku berdentum-dentum, namun di sana sepi dan hening, hanya ada suara hujan. Kemudian, suara halilintar menggelegar, terasa sangat dekat dengan telingaku. Berbagai suara teriakan meredamnya. Dan ketika aku menoleh ke bawah kakiku, aku melihat sebuah tubuh tergeletak di lantai, dengan rambut yang panjang terurai. 

Tak butuh banyak waktu bagiku untuk menyadari bahwa yang tergeletak itu adalah aku. Aku tersentak. Nafasku memburu, dan seketika itu juga, kesadaranku perlahan menghilang, membawaku dalam kegelapan pekat dan kedalaman sunyi. 

Suara gumam dari beragam mulut di sekitarku membuatku tersadar dari mimpi burukku. Mataku mengerjap beberapa kali, membiasakan diri dengan masuknya cahaya diantara kegelapan. Kepalaku sakit, seperti telah dipukul beberapa kali. Telingaku berdenging pelan.

“Ah, dia bangun, dia bangun!” ucap seseorang diikuti suara ribut dari yang lain. Ternyata mereka teman-temanku. Aku cukup lega ketika menyadari aku belum diculik alien atau dibakar di api neraka dan dimasukkan dalam kubangan darah. 

Seorang guru perempuan masuk, dan meminta yang lain keluar. Terdengar erangan protes dari teman-temanku. Satu-persatu dari mereka keluar, kecuali sang guru dan Maya. Maya terlihat sedang duduk di ujung ruangan, memperhatikanku sambil tersenyum misterius.

“Kamu pingsan di koridor. Sepertinya kamu kurang makan atau kurang tidur, ya?” tanya guru itu dengan halus. Aku mengerutkan dahi, bertanya-tanya apa yang telah terjadi. Barulah sebuah ingatan menyadarkanku. Kilasan balik memenuhi benakku.

“Aku melihat diriku di koridor. Aku tergeletak di sana,” ujarku ngeri. Aku baru tahu bahwa aku terlihat begitu menyeramkan ketika tergeletak seperti itu. 

Guru itu tersenyum, “Kamu berhalusinasi, Sayang,” katanya sambil meletakkan secangkir teh manis di tanganku. 

“Tapi...,” ucapku berniat membantah kata-katanya. Tapi, guru itu dengan cepat memberi isyarat agar aku meminum tehnya. Teh tersebut terasa enak dan hangat, serta memanjakan lidahku. Aku menyerahkan gelas yang sudah kosong pada guru itu. Guru itu pergi dan meninggalkanku berdua dengan Maya. Hujan telah reda digantikan matahari. Maya masih duduk menatapku melalui matanya yang tampak bercahaya ditimpa cahaya mentari.

“Aku membawakan tasmu. Ini...,” ucap Maya kalem sambil menyerahkan tas padaku. “Sudah waktunya kita pulang, Via. Bel sudah berbunyi sejak tadi. Apa kamu kuat untuk berjalan?”

“Sepertinya,” jawabku sambil tersenyum.

Berakhir sudah pengalamanku yang menyeramkan di sekolah ini. Ternyata semuanya hanya halusinasi. Maya mengajakku pulang, namun aku ingin pergi ke toilet sejenak, melepas segala rasa khawatir yang menghantuiku sejak tadi. Sementara itu, Maya pergi ke perpustakaan, mengembalikan buku yang sudah ia pinjam sebelumnya. Aku menitipkan tasku padanya. 

Aku berjalan dengan riang. Aku tersenyum pada setiap pohon yang ada, dan ikut bernyanyi dengan para burung gereja yang bersenandung riang. Kepalaku memang masih belum pulih seratus persen, namun sekarang ini lebih baik dari apapun yang terjadi hari ini. Aku melirik koridor tempat aku pingsan beberapa saat yang lalu. Tidak ada apa-apa di sana. Damai dan tenteram. 

Aku memilih toilet yang paling dekat dengan ruang peralatan bersih-bersih. Aku bersenandung riang. Namun, ketika aku akan membuka kunci pintunya, ternyata kuncinya macet. Aku terkurung di dalam. Apakah kesialanku masih berlanjut?

Aku menarik, mendorong, dan menghempaskan pintu itu. Aku menggoyang-goyangkan kuncinya. Namun tak ada hasilnya. Aku masih tersekap di dalam, sementara telepon genggamku masih di dalam tas. Maya juga sedang mengembalikan buku di perpustakaan. 

Aku mulai cemas, dan berbagai bayangan kembali merasuki benakku. Akankah Maya pulang lebih dahulu tanpa menungguku, sementara aku baru ditemukan besok pagi? Atau mungkinkah aku akan dimakan Monster Kamar Mandi sebelum aku berhasil membuka pintunya?

Kemudian, samar-samar terdengar suara tangis bayi dari kejauhan. Semakin lama, bunyinya semakin kuat dan semakin mendekat. Apa aku berhalusinasi lagi? Aku mulai mengeluarkan keringat dingin dan nafasku mulai tidak teratur. Bayi siapa yang akan datang ke SMA? Ini benar-benar mimpi buruk.

Aku terpaku di tempatku, manatap ngeri pintu yang ada di depanku. Pintu itu memang seperti biasa dan tak ada yang mengerikan di papannya. Hanya saja, saat ini aku membayangkan apa yang kira-kira akan terjadi jika bayi itu ‘masuk’ kemari?

Aku tidak berani menggerakkan seujung jari pun. Rasanya aku ingin berteriak, namun tenggorokanku tercekat. Aku ingin menangis meraung-raung seperti bayi itu, namun air mataku tak sanggup keluar. Aku diam di tempat, pasrah akan apa pun yang akan terjadi.

Suara tangis bayi itu semakin dahsyat, dan aku tahu pasti, bayi itu ada tepat di balik pintu ini. Aku semakin takut, ingin menghilang ditelan kegelapan. Angin dingin kembali berhembus di dalam ruang tertutup ini, membuat bulu romaku berdiri. Aku ingin berlari saat ini juga!

Kemudian, seolah belum cukup membuatku ketakutan, terdengarlah bunyi klontang yang terasa menusuk. Ketika aku melihat ke bawah, aku seolah melihat kilat guntur. Ada dot bayi tergeletak di dekat sepatuku. Aku terlonjak dan segera mundur sebisa mungkin hingga merapat di dinding. Jantungku hampir terlompat keluar dari rongganya. 

Cairan yang ada di dalam dot itu keluar, nyaris seperti darah, atau memang darah. Aku seperti melihat adegan horor di televisi. Aku mampu membayangkan wajah bayi yang menghisap dot itu. Mungkinkah ia berwajah rata, atau mungkin dengan wajah berdarah-darah, atau bibir yang membengkak, atau mungkinkah gigi taringnya sudah sepanjang drakula?

Aku berusaha realistis. Namun, semakin aku berusaha realistis, aku semakin yakin bahwa dot itu nyata, dan tangisnya yang kini masih menggema itu juga nyata. Kemudian, aku merasa ada sesuatu yang berusaha membuka pintu yang ada di depanku ini. Aku berdoa dalam hati, agar pintu itu tak akan terbuka. Aku mendekam selamanya di dalam sini juga tak apa-apa.

Aku memang bukan imam atau pemimpin agama yang jujur dan baik hati serta suka menabung. Namun paling tidak, aku adalah perempuan baik-baik yang belum pernah membunuh, mencuri ataupun merampok bank. Mungkin besok, akan ada namaku di dalam koran dengan judul, “Ada Gadis SMA yang Meninggal Dunia Karena Rohnya Dihisap Hantu Tak Berperikemanusiaan.”

Ah, tentu tidak. Aku harus berani melawan walau melawan itu tidak baik. Aku mengambil gayung di dalam bak untuk berjaga-jaga. Paling tidak, aku bisa melindungi diri sendiri, walaupun aku tahu hantu tidak akan merasa sakit jika kupukul. 

Tiba-tiba, sebuah tangan masuk dari bawah pintu, berusaha mengambil dot yang tadi terjatuh. Jantungku terlonjak, nyaris berteriak. Tangan itu seperti tangan manusia, dengan urat pembuluh darah yang terlihat di balik kulit pucat yang tipis. Kuku-kukunya panjang dan runcing, serta berwarna hitam. 

Tangan itu berhasil meraih dot tersebut, namun cairan yang berasal dari dalamnya masih ada di sana. Aku ingin memukul tangan itu, namun aku takut ‘sesuatu’ itu akan marah dan berbalik menyerangku. Kini, aku membayangkan seorang drakula tua yang berusaha membunuh bayi tak berdosa dan merebut dotnya.

Tiba-tiba, suara Maya terdengar dari balik pintu toilet, “Ada apa, Bu?” Nafasku memburu. Apa maksudnya ini?

“Ah, tidak, kok. Tadi saya ingin ke toilet, tapi anak saya menangis terus. Lalu dotnya jatuh ke dalam sana, jadi saya berusaha mengambilnya,” ucap seorang perempuan tak dikenal.

“Memangnya pintunya terkunci, Bu?” tanya Maya, lalu bertanya dengan suara diperkeras, “Kamu di dalam sana, Via?” Aku tertegun. Aku menjawab takut-takut, berusaha mengacuhkan pemikiran bahwa aku sedang dijebak sang monster. 

Aku mencoba membuka kunci pintu itu lagi, dan hasilnya pintu itu terbuka. Aku terbelalak. Aku melihat Maya dan seorang ibu tak dikenal bersama bayinya yang tertidur pulas. Aku jadi merasa bodoh karena ketakutan sendiri.

“Kamu lama sekali, Vi,” ujar Maya, “Jadi aku susul kamu ke sini.”

Aku tersenyum dan menghela nafas lega. Untunglah ada Maya. Jika tidak, entah bagaimana nasibku nanti, “Maaf, Maya. Ada halangan sedikit. Ayo kita pulang.” Kemudian, Maya mengangguk dan tersenyum pada ibu itu. Kami pulang dengan lega. Benar-benar hari yang panjang bagiku.


Aku menatap bayi di dalam gendongan ibu itu. Bayi itu tidur dengan damai dan tenang. Kemudian, aku melirik ke arah tangan ibu yang mendekapnya. Rupanya, kukunya diwarnai merah, namun tidak seseram yang tadi kulihat. Dot yang kukira berisi darah itu pun rupanya hanya sebotol susu bayi.

“Kamu ingin pulang sekarang atau kita pulang minggu depan?” tanya Maya ketus, “Ini tasmu,” ujarnya sambil menyodorkan tasku. Aku dan Maya pulang sambil melepas lega di bawah sinar matahari yang tersenyum cerah. Bisikan angin kini menjadi bersahabat. Namun aku merasa masih ada yang terlewat olehku.

“Eh, Maya, hari ini tanggal berapa, sih?” tanyaku penasaran. Maya tersenyum dan menjawab pelan, “31 Oktober, Halloween.”


Tanpa disadari siapapun, setelah kepergian Maya dan Vilvia, bayi dan ibu itu tersenyum sangat lebar, nyaris membelah wajah mereka. Mungkinkah apa yang dibayangkan Vilvia memang benar terjadi?



*****

Sabtu, 16 Mei 2015

Asal Lambang Zodiak

Saat ini, zodiak sudah tak asing lagi di telinga kita. Zodiak sudah sering kita dengar, baik dari segi ramalannya maupun asal-usulnya. Zodiak merupakan perwujudan rasi bintang, yang kemudian dijadikan bagian dari mitologi Yunani.

CAPRICORN (22 Desember-20 Januari)


Lambang Zodiak Capricorn adalah seekor kambing. Pada mitologi Yunani, kambing ini bernama Amaltheus. Amaltheus ini pernah memberi susunya pada dewa Zeus yang masih bayi di gua. Saat itu, Zeus disembunyikan ibunya dari mangsa ayahnya, Chronoos. Karena jasanya ini, Amaltheus diberkahi cahaya dan menjadi bintang.

AQUARIUS (21 Januari-19 Februari)


Zodiak Aquarius dilambangkan oleh sosok pemuda tampan yang sedang menuang air dari tempayan besar. Nama lelaki itu adalah Ganimedes, pelayan paling setia dewa Zeus. Tugas Ganimedes adalah membawa minuman dewa paling agung bangsa Yunani.

PISCES (20 Februari-20 Maret)


Pisces dilambangkan oleh dua ekor ikan yang berenang memutar. Kedua ekor ini diceritakan telah membawa Dewi Venus (dewi kecantikan) dan Dewa Mars (dewa perang) ke sungai Eufrat, karena saat itu mereka sedang dikejar Typhon.

ARIES (21 Maret-19 April)


Lambang zodiak Aries adalah sesosok domba. Domba ini berbulu emas. Menurut mitologi Yunani, domba ini dikorbankan pada dewa tertinggi sebagai persembahan. Dewa tertinggi tersebut, yakni Dewa Zeus, merasa senang atas persembahan yang diterimanya. Domba itu pun dijadikan bintang.

TAURUS (21 April-20 Mei)


Taurus berasal dari kata Taureau yang berarti sapi jantan. Maka, lambang zodiak ini adalah seekor sapi jantan. Sapi ini adalah jelmaan Dewa Zeus. Diceritakan bahwa Zeus menjelma menjadi sapi jantan untuk menculik seorang gadis cantik dari Eropa. Konon, Dewa Zeus menyukai wanita-wanita cantik.

GEMINI (21 Mei-21 Juni)


Zodiak Gemini dilambangkan oleh dua anak kembar. Anak kembar itu bernama Castor dan Polux. Mereka adalah putra dari Dewa Zeus.

CANCER (22 Juni-22 Juli)


Lambang zodiak Cancer adalah kepiting. Kepiting ini adalah jelmaan ular yang dikirimkan Yuno untuk melawan Hercules. Ular itu sangat beracun dan memiliki banyak kepala. Jika kepalanya ditebas, kepala yang baru akan tumbuh lagi. Akhirnya, Hercules membakar ular itu hingga ular itu mati. Ular itu pun dijadikan bintang.

LEO (23 Juli-23 Agustus)


Zodiak Leo dilambangkan oleh seekor singa. Singa ini adalah salah satu dari 12 tugas yang harus ditaklukkan Hercules. Singa ini merupakan salah satu yang paling ganas yang harus dilawan Hercules.

VIRGO (24 Agustus-22 September)


Lambang Zodiak Virgo adalah sosok perempuan cantik jelita. Putri itu adalah jelmaan putri Astrea. Saat itu, ia turun dari langit ke bumi. Rupanya, ia tak tahan dengan kejahatan dan penderitaan yang ada di bumi, sehingga dia memutuskan untuk tidak tinggal di bumi. Maka, ia kembali ke langit dan menjelma menjadi bintang.

LIBRA (23 September-23 Oktober)


Zodiak Libra dilambangkan oleh sebuah neraca atau timbangan. Karena itu, Libra adalah lambang keadilan. Sementara itu, putri yang menguasai keadilan bernama putri Justicia.

SCORPIO (24 Oktober-22 November)


Lambang Scorpio adalah seekor kalajengking. Diceritakan bahwa terdapat sebuah cinta segiempat antara Orion (pemuda tampan), Diana (dewi bulan), Venus (dewi kecantikan), dan Aurora (dewi fajar). Orion dicintai oleh tiga dewi sekaligus. Karena cemburu, Diana mengirim kalajengking pada Orion, yang menggigitnya sampai mati. Diana yang menyesal memohon pada Dewa Zeus untuk menjadikan Orion bintang.

SAGITARIUS (23 November-21 Desember)


Lambang zodiak Sagitarius adalah sesosok makhluk berbadan kuda dan berkepala manusia yang sedang memanah. Nama makhluk itu adalah Centaurus. Sesungguhnya, Centaurus adalah musuh manusia dan dewa. Namun, hal ini tak berlaku untuk salah satu Centaurus bernama Chyron. Ia adalah guru bagi dewa dan manusia yang mengajarkan cara bersenjata dan memanah dengan baik.




Rabu, 13 Mei 2015

Kisah Singkat

Engkaulah Malaikat yang Menghapus Air Mataku

Matahari sudah di ufuk Barat, hanya menyisakan berkas-berkas jingga di balik gemerlap lampu kota. Semakin lama, mentari semakin cepat tergelincir ke bawah, membiarkan relung violet menggantikan birunya langit luas. Di atap sekolah, aku bertopang dagu menyaksikan perputaran dunia, perputaran kehidupan di langit dan bumi.

Angin berhembus pelan, namun aku sama sekali tak terusik. Mataku masih memandang tingginya gedung-gedung pencakar langit di ibukota. Sambil menghelas nafas, aku membuka tasku yang tersampir di bahuku. Aku mengeluarkan buku sketsa, lalu beberapa batang pensil warna tua dalam sebuah kotak usang yang sudah dimakan waktu. Aku duduk di lantai semen, dan meletakkan pensil warnaku begitu saja. Kemudian, aku menopang buku sketsa itu di lututku.

Aku memulai dengan warna abu-abu gelap, lalu tanganku mulai menari-nari di atas buku sketsa. Lekuk-lekuk bangunan tinggi yang gemerlapan karena cahaya lampu, benderang bulan di sisi lain matahari, burung-burung gereja beterbangan, sampai bebukitan di ujung langit, nyaris tertelan oleh kegelapan. Tak terasa, sudah nyaris tak ada penerangan lain di atas sini kecuali sebuah lampu gantung di belakangku.

"Ckrek," bunyi itu mengusik konsentrasiku, sehingga aku berbalik ke belakang, tempat pintu atap berada, "Kriiieeet," bunyi lain menyusul seiring terbukanya pintu itu. Aku mengerutkan dahi. Tak biasanya ada orang berkeliaran semalam ini di sekolah. Kecuali aku, tentu saja.

Seorang gadis masuk ke melalui pintu, sepertinya tak sadar aku ada di sana. Aku menyipit, berusaha melihat rupa gadis itu karena keadaan yang sudah lumayan gelap. Tampang gadis itu tampak begitu kacau, depresi. Frustasi. Putus asa. Rambutnya acak-acakan, matanya bengkak memerah, wajahnya basah oleh air mata. Ketika melihat matanya, sejenak aku melupakan gambar yang sedang kubuat. Dengan sekali menatap matanya yang molotot saat bertemu pandang denganku, aku seolah tahu apa yang dipikirkannya, bagaimana masa lalunya, dan akan jadi apa dia nanti.

"JLEDAAAARR"

Aku tersentak karena di malam yang begitu cerah, tiba-tiba sebuah petir menyambar. Terperangah, aku seolah masuk ke dalam dirinya, masuk ke dalam kepedihannya. Derita hidupnya. Aku bergetar menyaksikan hidupnya yang mengerikan.

***
"Aku ingin menjadi orang terkaya, terhormat di seluruh dunia!" Teriak Ayah dengan ambisi mengerikan. Mata Ayah melotot garang, membuatku tercekam rasa ngeri. Di ujung ruangan, aku meringkuk gemetar. Di tengah ruangan, sesosok makhluk berkerudung berdiri tegap dan tinggi menjulang di atas mantra yang dibuat Ayahku.

Makhluk itu tersenyum memamerkan giginya yang tajam, seolah semuanya adalah gigi taring. Aku tak bisa melihat matanya, dan aku tak pernah berharap akan melihatnya. Sudah cukup horor melihat sosoknya yang mengerikan. Jika melihat matanya, mungkin harapan hidupku akan lenyap selamanya. Aku menatap Ayah dan makhluk itu bergantian. 

"Mudah saja," ucap suara melengking makhluk itu, dingin dan tak ada belas kasihan, "Tapi berikan aku tumbal sebagai gantinya!" 

Mata Ayahku membulat, begitu juga denganku. Rasanya aku sudah tahu apa yang akan dikatakan Ayahku selanjutnya. Aku semakin mengkeret di ujung, menunggu saat mengerikan itu datang sambil menangis tanpa suara.

"Ambil dia!" Ayahku menudingku dengan mata merah, seperti orang kecanduan narkoba, "Ambillah dia! Dia akan kujadikan persembahanku untukmu! Ambillah dia, yang telah menjadi kesialan bagiku!"

Makhluk itu menoleh pelan padaku, liurnya menetes-netes melihatku. Tanpa kusadari, teriakanku telah membelah langit hening malam itu. Makhluk itu terbang ke arahku. Aku tak peduli lagi apa yang terjadi, karena kesadaranku perlahan menghilang. 

Samar, aku mampu melihat sesosok cahaya putih terang keluar dari dalam tubuhku. Sepeti seoasang sayap lebar yang terbentang. Sayup-sayup, sebuah suara membahana di dalam pikiranku, suara penuh wibawa yang sangat berbeda dengan suara melengking makhluk itu.

"Aku telah menyelamatkanmu. Namun aku akan membuatmu merasakan penderitaan lebih dari siapapun di dunia ini. Aku akan menjerumuskanmu dalam segala rentetan masalah di bumi ini, agar segala penyesalan yang kau rasakan cukup untuk menebus dosamu dan dosa Ayahmu! Ingatlah ini selalu : Jika kau bertahan, kau akan diselamatkan! Percayalah, dan penderitaanmu akan dihapuskan. Namun ketika kau menyerah, segalanya akan berakhir."

Entah berapa lama aku terombang-ambing antara hidup dan mati, sebelum akhirnya aku tersadar di dalam ruangan putih beraroma antiseptik. Rumah sakit. Di cermin, aku melihat pantulan wajahku. Mengerikan. Wajah kiriku terkena luka bakar parah dengan bercak-bercak kemerahan. Sebelah mataku buta. Hidungku patah dengan arah yang salah. Rambutku setengah gundul ditutupi perban. Di tambah lagi, lengan kiriku hanya sebatas siku. Sebelah kakiku hilang. Ini parah. Nyaris lebih parah dari monster.

Aku berteriak tanpa suara. Hatiku terkoyak-koyak. Wajahku hancur. Aku mencoba berteriak lebih histeris lagi, namun aku hanya terlihat seperti orang gila yang kejang-kejang tanpa suara. Tenggorokanku kering, dan aku tak bisa menggetarkan pita suaraku. Ini hebat. Sekarang aku bisu. Hancurlah sudah hidupku.

"Ah," ucap seorang dokter yang baru masuk ke dalam, "Kau sudah sadar. Nah, dengarkan aku. Kami tidak tahu siapa keluargamu. Lalu, keadaanmu sepertinya cukup parah, jadi harus dirawat lebih lanjut. Bisa kau beri tahu aku siapa orang tuamu? Kau bisa menulis kalau kau mau."

Aku menggeleng, menyadari bahwa aku lupa siapa nama ayahku. Di mana alamatku, atau siapa seharusnya aku. Semua ingatanku samar, seolah hanya bagian dari sebuah mimpi panjang. 

"Ehm, begini," dokter itu berdeham pelan, "Kami hanya rumah sakit kecil, jadi tak banyak kamar tersisa. Sementara itu, jika kau tak bisa membayar..." Dia sengaja menggantungkan kalimatnya.

Aku diusir secara halus, pikirku. Bagaimana tidak? Bayangkan saja, bagaimana kau bisa beramah-tamah dengan gadis buruk rupa yang tinggal tanpa bayar?

Beginilah aku. Aku keluar dari rumah sakit itu dengan putus asa, tak tahu arah tujuan hidupku. Inikah bayaran yang harus kutanggung? Keluar dari rumah sakit dengan sosok sempurna menyeramkan yang pastinya akan membuat bayi meraung-raung, dengan hanya membawa selembar pakaian usang, dan sebuah tongkat sebagai rasa kasihan dari sang Dokter yang berusaha menambah karma baik. Nasib yang tidka buruk bukan?

Hari-hari berikutnya kuisi dengan sama buruknya. Dianiaya oleh anak jalanan, dipukuli, dirajam, ditendang orang kaya iseng, dikatai menjijikkan oleh anak orang kaya sombong, dilupakan dan disakiti. Jika hidup seperti ini adanya, lebih baik aku tak pernah dilahirkan.

Di sudut jalan tempat kumpulan sampah, di sanalah aku meringkuk sendirian, kedinginan, dengan tongkat yang sudah hampir patah. Aku mendongak menatap cahaya mentari di atas sana. 

"Tess, tes," air mataku menetes begitu saja. Bening kristal yang langsung tersaput debu sebelum sampai ke tanah. Putus asa. Meski sudah kucari, selama empat bulan ini hampi tak ada keberuntungan bagiku. Aku ingin berteriak meraung-raung, memberitahu pada dunia, seberapa besar usahaku untuk bertahan. Mungkin, mengakhiri segalanya malah akan lebih baik.

"Kyaaa!" Seorang remaja berteriak dan melompat ketika melihatku. Sepertinya ia ingin membuang kantong sampah ke tempat penampungan sampah ini. Namun, ia melemparnya begitu saja ke arahku, lalu berlari terbirit-birit sambil berteriak. 

Aku tidak mau hidup lagi.

***
Tak terasa, air mataku sudah menetes banyak sekali. Rupanya aku ada di atas tempat tidurku sendiri. Nafasku terengah-engah, merinding, sambil tersedu-sedu. Masa lalu gadis itu...mengerikan. Bagaimana perasaannya selama hidup, memiliki Ayah setega itu, memiliki masa lalu dan masa depan sekelam itu, tertampak jelas dalam mimpiku. Lega rasanya mengetahui itu hanya bagian dari bunga tidur.
 
Kata orang, bunga tidur hanyalah proyeksi dari rasa takut dan keresahan seseorang, tak ada hubungannya dengan kehidupan orang yang lain atau masa depan.
 
Tapi aku penasaran. Saat ini masih tengah malam, kira-kira jam satu. Aku duduk sejenak, lalu membereskan barang-barang yang perlu kubawa: senter, misalnya. Dengan langkah pelan, nyaris seperti maling, aku keluar lewat jendela kamar. Di samping rumah, aku mengendarai sepedaku dengan tergesa-gesa, menuju tempat pembuangan sampah. aku penasaran akan apa yang ada di sana. 

Kosong. Hanya ada sampah. Aku menyalakan senterku. Jujur saja, menuju tempat sepi dalam keremangan malam benar-benar mengerikan. Sepertinya aku tidak akan mau kemari lagi untuk waktu yang lama. Setelah mengarahkan senterku ke berbagai arah, aku merasa kecewa, karena aku tak menemukan apa yang kucari. Gadis dengan tubuh bagian kiri yang rusak parah. 

Aku mengangkat bahu dan berbalik, bersiap kembali ke rumah. Tiba-tiba, dari deretan sampah, terdengar lenguhan pelan. Dengan cepat aku membongkar tumpukan sampah itu. Benar saja, aku menemukan seseorang di sana. Sulit memang, dan menjijikkan juga, namun aku membawanya ke rumah sakit terdekat. Dia dirawat di sana dengan bantuan dana orangtuaku dan sumbangan sosial.

Gadis bisu itu menatapku dengan tatapan memuja, meneteskan air mata yang saat itu tampak begitu suci dan bening. Ia tersenyum lembut, dan bicara dengan terbata-bata, "Terima kasih, atas segalanya. Kamu adalah penyelamat hidupku."

~~~~~~The End~~~~~~